Kamis, 03 September 2009

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

BAB I

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Pokok Bahasan

Pengertian teknologi pendidikan, tokoh-tokoh dalam pengembangan teknologi pendidikan

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian teknologi pendidikan baik aspek software dan hardware

2. Mahasiswa dapat menjelaskan tokoh-tokoh dalam pengembangan teknologi pendidikan

3. Mahasiswa dapat menyebutkan tokoh-tokoh dalam teknologi pendidikan

4. Mahasiswa dapat memahami konsep yang ditawarkan tokoh-tokoh teknologi pendidikan

C. Uraian Materi

1. Pengertian

Istilah teknologi berasal dari bahasa Yunani technologia yang menurut Webster Dictionary berarti systematic treatment atau penanganan sesuatu secara sistematis. Sedangkan techne sebagai dasar kata teknologi berarti art, skill, science atau keahlian, ketrampilan, ilmu. Jadi teknologi pendidikan dapat diartikan sebagai pegangan atau pelaksanaan pendidikan secara sistematis.[1]

Istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah insructional technology atau educational technology. Salah satu pendapat insructional technology means the media born of the communications revolution which can be used for instructional purpose alongside the teacher, the book, and the blackboard. Dalam hal ini yang diutamakan media komunikasi yang berkembang secara pesat sekali yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan. Alat-alat teknologi semacam ini disebut "hard ware" antara lain berupa berupa TV, radio, vedeo tape, komputer, film opaque projector, overhead projector, dan lain-lain. Alat-alat ini dalam media pengajaran disebut alat peraga, alat pengajaran audio visual atau audio visual aids (AVA).[2]

Alat-alat hardware diatas besar manfaatnya, namun bukan merupakan inti atau hakikat teknologi pendidikan. Alat-alat itu tidak mengandung arti pendidikan. Alat itu baru bisa bermanfaat bila dikaitkan dengan suatu pelajaran atau program yang disebut software. Inti teknologi pendidikan adalah programnya harus di susun menurut prinsip-prinsip tertentu.

Ada yang berpendapat bahwa teknologi pendidikan adalah pengembangan, penerapan, dan penilaian sistem-sistem, tekhnik dan alat bantu untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar manusia. Jadi teknologi pendidikan adalah software dan hardware. Software antara lain menganalisis dan mendesain urutan atau langkah-langkah belajar berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan metode penyajian yang serasi serta penilaian keberhasilannya.

Ada pula yang berpendapat bahwa teknologi pendidikan adalah pemikiran yang sistematis tentang pendidikan, penerapan metode problem solving dalam pendidikan yang dapat dilakukan dengan alat-alat komunikasi modern, namun juga bisa tanpa alat-alat itu.

Ada yang berpendapat teknologi pendidikan adalah teori yang berkenaan dengan cara bagaimana masalah-masalah belajar manusia diidentifikasi dan dipecahkan. Dalam kata lain teknologi pendidikan adalah suatu bidang yang mencakup penerapan proses yang kompleks dan terpadu dalam menganalisis dan memecahkan masalah-masalah belajar manusia.

Dalam pandangan Yusfhadi Miarso, dkk[3] bahwa teknologi pendidikan merupakan proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalahyang menyangkut semua aspek belajar manusia.

2.TOKOH-TOKOH DALAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Teknologi pendidikan berusaha untuk menerapkan dalam kelas hasil-hasil eksperimentasi dalam laboratorium psikologi. Teknologi pendidikan adalah hasil penelitian dan pemikiran ilmiah tentang pendidikan. Ada sejumlah tokoh yang berusaha mempelajari soal belajar secara sistematis.

Edward L. Thorndike (1874-1949) menghasilkan sejumlah "hukum" belajar, di antaranyalaw of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respons murid terhadap suatu stimulus segera disertai oleh rasa senang atau rasa puas merupakan pujian atau hadiah, yang disebut reiforcement. Reinforcement ini memperkuat hubungan antara S (stimulasi) dan R (response), sehingga hasil belajar menjadi permanen. Dalam teknologi pendidikan diusahakan agar murid dapat menjawab pertanyaan atau melakukan suatu tugas dengan baik, sehingga timbul rasa sukses atau keberhasilan. Demikianlah anak itu dibawa sukses yang satu ke sukses yang berikutnya sampai seluruh pelajaran dikuasai.

Sidney L. Pressey, menyusun program yang terdiri atas serentetan tugas-tugas yang disebutnya software dan disamping itu suatu alat yakni teaching machine sebagai hardware. Ia menggunakan test obyektif dengan lembar jawaban yang dapat diperiksa sendiri secara otomatis.

Ivan Pavlon (1849-1936) mengadakan percobaan dengan anjing untuk mempelajari proses belajar secara ilmiah. Proses belajar yang diselidikinya adalah conditioning. Anjing yang mula-mula mengeluarkan air liurnya, bila disodorkan makanan (S1) akan keluar air liurnya bila misalnya dibunyikan lonceng (S2) yang semula disodorkan bersamaan dengan makanan dan kemudian ditiadakan.

Diantara ilmuwan dalam bidang proses belajar yang paling berpengaruh terhadap perkembangan teknologi pendidikan ialah B.F.Skinner. Ia banyak melakukan eksperimen dengan binatang diantaranya yang paling terkenal dengan burung merpatiuntuk mempelajari cara mengubah kelakuan binatang itu. Ia memberikan S (stimulasi) tertentu dan segera memperkuat atau me-reinforce R (respons) yang diinginkan dengan memberi makanan sampai bentuk kelakuan itu mantap. Kemudian reinforcement itu barangsur-angsur dapat dikurangi untuk mempertahankan bentuk kelakuan yang telah dipelajari itu agar jangan lenyap atau dilupakan.

Ada perbedaan antara conditioning yang diterapkan oleh Pavlov dan Skinner. Pavlov menggunakan serentak dua stimulasi yang berpasangan, misalnya makanan dan bunyi lonceng. Cara ini disebut respondent conditioning. Skinner menggunakan reinforcement segera setelah respon yang berhasil baik. Respon ini biasanya suatu langkah dalam serangkaian bentuk kelakuan yang menuju ke arah pola kelakuan yang diinginkan. Inilah dasar B.F Skinner untuk menciptakan apa yang terkenal sebagai atau programmed larning atau belajar berprograma dalam tahun 1950-an. Khususnya B.F Skinner menggunakan. Linear programming ataun program linear yang membimbing murid melalui langkah-langkah yang pendek menurut urutan yang sama disusun sedemikian rupa sehingga kemungkinan memberi jawaban yang benar sangat besar, yakni sekitar 95 persen sampai seluruh bahan dikuasai.[4]

Norman C. Crowder mengadakan variasi dalam pelajaran programa untuk memperhatikan perbedaan individual dengan mengembangkan brancing program, program bercabang. Disini langkah-langkah lebih besar daripada dalam program linear diikuti oleh jawaban berganda. Setelah memilih salah satu jawaban, murid itu mengecek jawaban pada halaman yang ditunjuk. Jika jawabannya benar diberi keterangan apa sebab jawaban itu benar sebagai reinforment dan setelah diberi keterangan apa sebab salah dan murid disuruh kembali ke soal itu yang sama dengan langkah-langkah yang lebih pendekdan lebih muda untuk memperoleh jawaban yang tepat. Kemudian ia kembali kepada urutan langkah-langkah semula.

BAB II

LANDASAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Pokok Bahasan

Landasan teknologi pendidikan, landasan filosofis, landasan sosiologis, dan psikologis

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan landasan teknologi pendidikan baik filosofis, sosiologis dan psikologis

2. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan landasan teknologi pendidikan baik filosofis, sosiologis dan psikologis

C. Uraian Materi

1. Landasan Filosofis

Konsep model pendidikan teknologis secara filosofis mirip dengan model pendidikan klasikal, yaitu bertumpu pada asumsi bahwa model pendidikan itu hendaknya merupakan suatu bentuk atau contoh utama dari masyarakat yang lebih luas sebagai hasil karya pendidikan. Dengan demikian maka dalam konteks masyarakat yang lebih luas, titik berat penekanannya ditujukan kepada dimensi-dimensi, kecenderungan-kecenderungan untuk timbulnya masyarakat teknologi. Dalam masyarakat perenial Eropa, wawasan pendidikannya dititikberatkan pada masa lampau, sedangkan masyarakat Amerika menitikberatkan gambaran pendidikannya kepada pelestarian kebudayaan masa kini. Sebaliknya pada masyarakat teknologis perspektif pendidikannya berorientasi ke masa yang akan datang. Dalam kenyataan, perubahan perubahan ke masa datang ituterlalu cepat sehingga dengan cepat pula mempengaruhi kebudayaan dewasa ini. Perubahjan tersebut terjadi karena dipacu oleh kemampuan teknologi modern.

Pendidikan teknologis memandag dunia sebagai suatu materi yang terikat oleh hukum-hukum sebab-akibat. Setiap kemungkinan adanya kekuatan "spiritual" yang tidak bisa dibuktikan tidak perlu dipertimbangkan, tidak perlu dipikirkan atau dianalisis. Segala kenyataan itu bersifat kuantitatif, ditentukan oleh lingkungan melalui pengetahuan ilmiah.[5]

Manusia dalam anggapan pendidikan teknologis dipandang sebagai makhluk yang berperilaku lebih kompleks dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia hidupnya diliputi oleh pelbagai pemikiran prailmiah dari keinginan serta tanggung jawabnya bisa terbebas dari tindakan serta akibatnya. Segala macam perilakunya ditentukan, diarahkan oleh lingkungannya. Pengetahuan dipandang sebagai data empiris hasil pengamatan, dapat diukur dan dibuktikan secara sahih. Pengetahuan itu tidak lain dianggap sebagai informasi atau keterampilan yang bersifat perilaku, yang bagi setiap individu telah diprogram melalui kondisi penguatan. Dengan demikian maka sepanjang hidupnya manusia itu ditentukan oleh lingkungan, dikondisikan oleh lingkungan, atau dimodifikasi oleh lingkungan.

Pendidikan adalah modifikasi dari perilaku yang dicapai melalui aplikasi kondisi yang diperkuat, melalui peralatan teknologi. Isi pelajaran dan metodologi pengajaran ditetapkan dengan dukungan teknologi. Secara esensial mesin pengajaran menggantikan peranan guru, dan siswa berperan sebagai trainee yang mempelajari semua data serta keterampilan yang berguna bagi jabatan atau kedudukannyadi bidang teknologi di masa yang akan datang. Bantuan-batuan teknologis kepada manusia, memungkinkan manusia memahami tumbuhnya masyarakat teknologis yang sangat kompleks. Teknologi dipandang sebagai suatu alat atau sarana yang bebas nilai, bisa dipakai untuk kesejahteraan, atau sebaliknya bisa juga dipergunakan untuk kebinasaan.

Kurikulum teknologis berorientasi ke masa datang, yang memandang teknologi sebagai dunia yang dapat diamati serta diukur secara pasti. Oleh karena itu, dalam pendidikan lebih mengutamakan penampilan prilaku lahiriah atau eksternal, dengan penerapan praktis hasil penemuan-penemuan ilmiah yang secara karakteristik menuju ke arah komputerisasi program pengajaran yang ideal, sesuai dengan prinsip-prinsip cybernetics. Dengan demikian model pendidikan teknologis akan lebih efisien ketimbang model pendidikan guru-siswa yang klasikal. Kurikulum model teknologis memandang pendidikan sebagian besar sebagai penyampai informasi ketimbang sebagai pewaris kebudayaan pada masa lampau.[6]

Dalam proses belajar-mengajar, model pendidikan teknologis lebih menitikberatkan kemampuan siswa secara individual dimana materi pelajaran disusun ketingkat kesiapan sehingga siswa mampu mempertunjukkan perilaku tertentu yang diharapkan. Dalam model ini guru berdiri di belakang layar sepanjang mesin pengajaran bisa berbuat banyak, efisien, dan akurat dalam menangani pelbagai tugas yang kompleks. Guru dapat berlepas tangan dari pembentukan dimensi-dimensi nonkognitif para siswanya. Di samping itu guru juga dapat terlepas dari tugasnya sebagai pemberi informasi semata-mata karena sudah diambil alih peranannya oleh hardware seperti OHP, slides suara, film, tv, teaching machine, dan lain-lain. Sementara itu materi pelajaran dipilih oleh para ahli bidang studi yang berisi serangkaian butir tujuan pengajaran dan keterampilan berperilakumenuju kearah kemampuan-kemampuan siswa yang bersifat kejuruan.

Manfaatnya yang sangat besar dari model kurikulum teknologis ini adalah, materi pelajaran dapat disajikan kepada siswa dalam pelbagai bentuk multimedia. Para siswa menerima pelajaran seperti pada model pendidikan klasikal, tetapi para siswa lebih yakin dalam menangkap pelajarannya karena penyajian pelajaran lebih hidup, lebih realistis, serta lebih impresif. Para siswa menyerap sejumlah besar pola perilaku dan materi pelajaran yang kompleks secara efisien karena keterampilan baru yang diperolehnya akan segera berfaedah bagi dirinya dalam masyarakat yang lebih luas.

2. Landasan Sosiologis

Masyarakat industri abad pertengahan telah menggantikan tenaga manusia dan binatang dengan tenaga mesin yang digerakkan oleh minyak bakar dan listrik. Kini masyarakat teknologis telah menggantikan pikiran manusia dengan pikiran mekanis komputer, dengan kecepatan, ketepatan, serta kemampuan yang memungkinkan memecahkan masalah-masalah terknis dan organisasi yang amat kompleks. Bilamana manusia pada abad pertengahan hidup serta berjuang melalui kerja sama dengan alam lingkungannya, maka manusia modern kini bangkit menguasai alam. Manusia teknologis telah memiliki kekuatan meniru alam, bahkan mampu menciptakan kembali beberapa lingkungan alam, termasuk kehidupan itu sendiri. Misalnya, ilmu kedokteran dan biologi mampu menetukan bukan hanya jumlah anak dan saat kelahirannya, melainkan juga dapat menetukan jenis kelamin, intelegensi, bentuk fisik, serta kepribadiannya. Diterapkannya teknologi didalam pendidikan mula-mula terjadi pada tahun 1940 sehubungan dengan timbulnya kebutuhan militer pada masa peperangan. Pada masa itu angkatan perang perlu melatih para calon prajurit untuk tugas-tugas khusus. Namun, pesatnya penggunaan teknologi didalam pendidikan pada tahun 1950-an sesungguhnya merupakan akibat munculnya dua faktor, yaitu: pertama-tama, timbulnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan sebagai cara untuk memperbaiki mut kehidupan; kedua, terjadinya ledakan penduduk usia sekolah. Tantangan tersebut segera memperoleh jawaban dari dunia perekonomian dengan menciptakan pelbagai perangkat keras sebagai bantuan teknolgis yang dirancang untuk tujuan pengajaran yang lebih efektif serta ekonomis. Sekalipun demikian, timbul sedikit keragu-raguan terhadap kemungkinan pendayagunaan dalam jangka panjang dari peralatan teknologi secara luas di kelas-kelas dan berbagai bentuk multimedia. Dalam proses tersebut peranan komunikasi sangat penting, sebab hakikat teknologi pengajaran adalah upaya guru mempengaruhi siswa agar dapat mencapai tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, landasan sosial teknologi pengajaran ada pada komunikasi insani.[7]

Berkomunikasi merupakan kegiatan manusia, sesuai dengan nalurinya yang selalu ingin berhubungan satu sama lain, salin berinteraksi dan saling membutuhkan. Keinginan untuk berhubungan di antara sesamanya sesungguhnya merupakan naluri manusia yang ingin hidup berkelompok atau bermasyarakat. Dengan adanya naluri tersebut, maka komunikasi dapat dikatakan merupakan bagian hakiki dari kehidupannya yang senantiasa hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, manusia akan kehilangan hakikatnya sebagai manusia bila ia tidak melakukan kegiatan komunikasi dengan sesamanya.

Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu Communicare yang artinya "memberitahukan"; "berpartisipasi", atau "menjadi milik bersama". Bila dirumuskan lebih luas, komunikasi mengandung makna menyebarkan informasi, berita, pesan, pengetahuan, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama antara penyampai pesan sebagai komunikator dan penerima pesan sebagai komunikan.

Komunikasi pun dipandang sebagai proses, yaitu suatu proses pengoperan dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang ahli komunikasi Amerika, Floyde Brooker, komunikasi adalah:…anything that conveys meaning, that carries a message from one person to another. (James Brown, 1959 : 5). Dengan demikian, proses belajar mengajar dilihat dari sudut pandang komunikasi tidak lain adalah proses penyampaian pesan, gagasan, fakta, makna, konsep, dan data yang sengaja dirancang sehingga dapat diterima oleh penerima pesan atau komunikan. Guru sebagai komunikator menyampaikan pelajaran sebagai pesan kepada siswa-siswa sebaai komunikan. Selama komunikasi itu berjalan, terjadilah proses psikologis dimana terjadi kegiatan saling mempengaruhi di antara komunikator dan komunikan. Inilah yang lazim di sebut interaksi.

Proses pengoperan dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna dimaksudkan bhwa makna lambang dalam perjanjian umum, baik oleh pihak pemakai lambang (komunikator) maupun oleh pihak penerima lambang (komunikan), diartikan sama. Dalam hubungan ini Wilbur Schramm menjabarkan pengertian umum komunikasi itu kedalam tiga kategori pokok dengan beberapa istilah khasnya yaitu:

(1) Encoder, yaitu komunikator, guru yang mempunyai informasi tertentu dan benar, mampu mengirimkan informasi tersebut secara tepat pada kecepatan optimal, dan sampai kepada penerima informasi, yaitu para siswanya. Makna encoder yang sesungguhnya adalah penyandi karena informasi atau pesan yang disajikan itu didalam bentuk sandi atau code. Misalnya materi pelajaran disajikan oleh guru dalam bentuk bahasa lisan, tulisan, dan rumusan sebagai lambang verbal (verbal symbol). Di samping itu, mata pelajaran juga disajikan dalam bentuk gambar sebagai lambang visual (visual symbol). Dengan kata lain, guru mengajar mempergunakan ucapan, tulisan, angka, gambar, bagan, peta, dan lain-lain yang semuanya itu adalah lambang atau code semata-mata.

(2) Sign/signal, yaitu pesan, berita, atau pernyataan tertentu yang ditujukan kepada dan diterima oleh sesorang atau kelompok orang penerima. Pesan itu dapat dilukiskan dalam bentuk gerak tangan, mimik, kata-kata lisan atau tulisan, rumusan, gambar, foto, grafik, peta, diagram, dan lain-lain.

(3) Decoder, yaitu komunikan yang dalam konteks pendidikan adalah siswa yang menerima pesan tertentu, mampu memahami isi pesan yang diterimanya. Makna decoder adalah pemecah sandi, sebab pesan yang disajikan oleh guru di dalam bentuk sandi atau lambang itu harus dapat dipecahkan, dipahami, dihayati, disimak, dan dimengerti betul makna isinya. Bilamana guru mampu menyajikan materi pelajaran yang abstrak atau sulit menjadi jelas sehingga mudah dan cepat dipahami maknanya oleh siswa, bila guru mendorong siswa sehingga mereka mau bertanya, berdiskusi, belajar mandiri, dan menyelidiki sendiri, bila guru dapat menyajikan pelajaran secara menarik dan hidup, efektif dan efisien, maka dapat dikatakan bahwa tujuan komunikasi telah tercapai. Dengan perkataan lain, proses komunikasi itu berhasil.

Model proses komunikasi yang sederhana dari Wlibur Schramm ini terdiri dari kategori pokok, yaitu encoder (penyandi), sign/signal (tanda/lambang) dari pesan, dan decoder (pemecah sandi) penerima pesan komunikasi.[8]

Dalam pada itu, komunikasi serbagai proses dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu proses primer dan proses sekunder. Proses primer adalah proses komu-nikasi langsung, yaitu proses komunikasi yang berlangsung tanpa media massa yang dapat melipatgandakan jumlah penerima pesan. Didalam proses primer ini komunikasi dapat berbentuk bahasa, gerakan-gerakan yang mempunyai makna khusus, dan aba-aba. Dalam proses sekunder, komunikasi berlangsung dengan bantuan mekanisme yang dapat melipatgandakan jumlah penerima pesan, atau ditujukan guna mengatasi pelbagai macam hambatan fisik yang akan merintangi berlangsungnya proses komunikasi primer. Misalnya hambatan geografis, maka dalam melaksanakan proses komunikasi sekunder ini dilaksanakan melalui radio, televisi, dan bahkan satelit komunikasi dengan stasiun buminya. Hambatan waktu dapat diatasi dengan mempergunakan pita suara, piring hitam, video cassette, dan buku, untuk dapat berkomunikasi dengan generasi berikutnya.

Di samping itu ada komunikasi langsung dan tak langsung. Komunikasi langsung adalah komunikasi tanpa mempergunakan media, sedangkan komunikasi tak langsung adalah komunikasi yang menggunakan media sebagai alat perantara. Jenis komunikasi tak langsung ini sering kali disebut mediated communication.

Komunikasi langsung tidak sama dengan komunikasi tatap muka atau face-to-face communication. Komunikasi tatap muka diartikan sebagai proses komunikasi dalam satu kelompok yang terikat secara psikologis, dan mengadakan interaksi dan proses pengaruh-mempengaruhi satu sama lain secara intens.

Bentuk-bentuk komunikasi

Berdasarkan sandi yang dipergunakan dalam komunikasi dapat dibedakan dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal memang tidak sebanyak komunikasi verbal dipergunakan dalam kehidupan, namun perannya sangat penting, sebab kejelasan makna yang disampaikan dengan komunikasi verbal seringkali diperoleh melalui penggunaan komunikasi nonverbal. Misalnya dalam penyampaian berita kepada penerima acap kali dipergunakan gerakan tangan, ekspresi muka, intonasi dalam mengucapkan kata-kata tertentu. Dengan kata lain, komunikasi verbal akan lebih efektif dan efisien pemakainnya bila disetai dengan penggunaan komunikasi nonverbal. Tanda-tanda lalu lintas, poster, warna baju, cincin kawin atau tunangan, dan sebagainya merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang umum kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Jenis-jenis komunikasi nonverbal lainnya adalah:[9]

(1) Parabahasa (paralanguage). Dikenal semenjak lama bahwa terdapat informasi yang terkandung didalam kata-kata yang diucapkan seseorang, misalnya dalam nada suara, intonasi, saat-saat berhenti dalam kalimat. Misalnya kata "ya" bisa bermakna setuju, sanggup, heran, atau sinis, bergantung pada nada suara dan tekanan suara yang diucapkan. Peranan intonasi sangat penting dalam pengajaran, terutama dalam penyampaian materi dengan metode ceramah.

(2) Bahasa tanda (sign language), meliputi semua bentuk kodifikasi yang dapat menggantikan pemakaian bilangan, tanda-tanda baca, dan kata-kata. Misalnya, mulai dari isyarat yang paling sederhana ikut membonceng kendaraan kawan, sampai kepada bahasa tanda yang lengkap pada orang tuli. Bahasa tanda ini sering kali dipergunakan dalam kegiatan olahraga oleh para wasit atau guru olahraga.

(3) Bahasa perbuatan (action language), meliputi semua bentuk isyarat, ekspresi wajah, dan gerakan-gerakan yang dipakai untuk menggantikan kata-kata. Misalnya gerakan tergesa-gesa atau santai menunjukkan mobilitas dalam berkomunikasi, kata-kata yang diucapkan perlahan-lahan oleh seorang guru bermaksud memperjelas atau menekankan pentingnya pesan yang disampai-kan.

(4) Bahasa objek (object language), yaitu penampilan benda-benda tertentu yang mengandung makna, misalnya baju, dekorasi ruangan. Pakaian KORPRI misalnya mempunyai makna atau menngomunikasikan adanya suatu kegiatan, yaitu upacara formal kenegaraan.

(5) Komunikasi taktil (tactile communication), yaitu komunikasi melalui rabaan, elusan atau pegangan. Bentuk komunikasi ini adalah paling awal dan elementer bagi organisme manusia, dan amat penting dalam kehidupan manusia pada masa kanak-kanak, bahkan sewaktu masa bayi ketika kasih sayang ditujukan oleh orang tua melalui rabaan, usapan, atau elusan. Komunikasi taktil mengekspresikan pernyataan rasa sayang, penerimaan, pemberian, dorongan, membangkitkan rasa percaya diri pada diri anak. Bentuk komunikasi ini penting sekali diketahui oleh guru dalam membimbing para siswanya sehubungan dengan kegiatan pengajaran yang efektif.

(6) Ruangan dan waktu, yaitu bentuk komunikasi nonverbal yang berhubungan erat dengan kebdayaan suatu bangsa. Misalnya jarak untuk bercakap-cakap bagi orang Amerika adalah sepanjang lengannya, sebaliknya bagi orang Brasil jarak itu dianggap kurang bersahabat dan dingin. Demikian pula halnya dengan waktu, tepat waktu berarti menunjukkan penghargaan, pengiriman pos kilat menunjukkan pesan yang dikirimkan amat penting atau gawat.

Tujuan Komunikasi

Menurut Aristoteles komunikasi merupakan segala macam cara yang dapat dipergunakan untuk membujuk. Dengan demikian maka tujuan komunikasi pun adalah persuasi, yaitu uapaya untuk membujuk orang lain ke sudut pandang pembicara atau komunikator.

Dengan berkembangnya psikologi daya pada abad ke-17 yang memisahkan secara tegas jiwa dan pikiran, dualisme jiwa-pikiran itu dijadikan landasan dalam menentukan tujuan komunikasi yang berbeda. Tujuan komunikasi yang satu dihubungkan dengan hakikat aspek intelektual atau kognitif, sedangkan tujuan komunikasi yang lain dihubung-kan dengan aspek emosional atau kejiwaan. Maka berdasarkan pengaruh psikologi daya tersebut, tujuan komunikasi dapat dibedakan kedalam tiga aspek, yaitu:

Pertama, tujuan komunikasi bersifat informatif yang berhubungan dengan pemikiran manusia. Kedua, tujuan komunikasi bersifat persuasif yang berkaitan dengan unsur kejiwaan manusia. Ketiga, tujuan komunikasi bersifat hiburan yang berhubungan dengan unsur kejiwaan manusia juga.

Namun, kini tujuan komunikasi yang dibedakan kedalam tiga aspek tersebut sudah tidak dipergunakan lagi, sejalan dengan munculnya teori baru, yaitu behaviorisme, yang tidak lagi memandang adanya pemisahan secara dikotomis antara fisik dan psikis itu. Teori behaviorisme brpandangan bahwa yang lebih berfaedah adalah merumuskan tujuan berdasarkan tujuan komunikator atau penerima pesan, tidak didasarkan atas ciri-ciri atau sifat yang terdapat didalam pesan itu sendiri.

Pada kenyataannya komunikasi memegang peranan yang amat penting di dalam setiap aspek kehidupan manusia, misalnya dalam memberikan perintah, mengajukan permintaan, kegiatan belajar-mengajar, organisasi sosial, hubungan kebudayaan, ekonomi dan politik.

Tujuan pokok berkomunikasi adalah mengubah hubungan asli antara diri kita dengan lingkungan di tempat kita berada. Dengan demikian maka tujuan komunikasi yang utama adalah mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi lingkungan fisik kita dan menjadikan diri kita sebagai agen yang dapat mempengaruhi, agen yang bisa menen-tukan terhadap lingkungan kita untuk dijadikan sesuatu yang kita kehendaki. Dengan kata lain, kita berkomunikasi dengan tujuan untuk mempengaruhi, untuk maksud tertentu. Dengan demikian, dalam upaya kita memperbaiki kemampuan kita dalam berkomunikasi, pertanyaan yang pertama-tama perlu diajukan adalah: apakah yang diinginkan oleh komunikator dari hasil penyampaian pesannya? Dengan istilah psikologis: respons apa yang dikehendaki untuk diperoleh?

Beberapa prinsip di dalam komunikasi

Ada beberapa prinsip yang memegang peran penting untuk menjadikan proses komunikasi lebih efektif sehingga tujuan komunikasi bisa dicapai, yaitu antara lain:[10]

(1) Makna di dalam proses komunikasi, bukan merupakan suatu arti yang yang terletak didalam pesan, melainkan berada diluar pesan itu sebagai sesuatu yang bersifat eksternal. Makna berada di dalam diri orang atau subjek, merupakan respons yang tak tampak atau tertutup (covert). Dengan kata lain, makna pesan dalam komunikasi tidak berada di dalam pesan, tetapi pada orang. Maka bilamana makna itu berada atau dijumpai dalam kata-kata, setiap orang pasti akan dapat memahami setiap bahasa apapun. Unsur dan struktur suatu bahasa tidak dengan sendirinya mempunyai makna, tetapi lambang semata-mata. Komunikasi bukan berarti penyerahan makna dari sumber kepada penerima karena makna itu sendiri tidak bisa ditransmisikan; hanya pesan yang dapat di transmisikan. Itulah sebabnya seringkali terjadi penerima pesan tidak memahami apa-apa tentang pesan yang sudah disampaikan oleh sumber kepadanya.

(2) Gangguan (noise) di dalam komunikasi merupakan salah satu unsur yang dapat menghambat kefektifan komunikasi. Gangguan didalam komunikasi tidak hanya merupakan hal-hal yang biasa mengganggu mutu signal saja, tetapi juga meliputi pelbagai sumber di dalam komunikasi. Ganghguan bisa berasal dari sumber komunikasi sendiri, dapat juga berasal dari pesan yang disampaikan, atau berasal dari saluran yang dipergunakan, juga bisa berasal dari dari penerima pesan komunikasi. Gangguan di dalam proses komunikasi dapat juga datang dari lingkungan tempat berlangsungnya proses komunikasi, misalnya udara di ruangan kelas panas, penerangan tidak memadai, suara yang gaduh karena bercakap-cakap keras.di dalam proses belajar-mengajar, gangguan dapat berasal dari guru (sumber) disebabkan oleh gagap: ah, anu, eh, dan lain-lain ucapan yang tak berarti. Gangguan yang berasal dari pesan komunikasi (pelajaran) misalnya pesan yang di-sampaikan dalam bahasa asing, lambang-lambang abstrak, terlalu cepat atau ter-gesa-gesa berbicara. Gangguan yang berasal dari saluran misalnya pesan akan lebih jelas disajikan dalam bentuk saluran visual, tetapi disampaikan dengan ceramah. Gangguan yang berasal dari penerima pesan disebabkan oleh daya tangkap penerima yang rendah, tiadanya motivasi, rasa lelah dan mengantuk, dan lain-lain. Model Claude Shannon ini telah dilengkapi dengan sumber, pesan, sasaran pesan, dan gangguan (noise) didalam proses komunikasi.

SASARAN

PESAN DISANDI

PESAN DITERIMA DAN DIPECAHKAN SANDINYA

SUMBER PESAN

UMPAN BALIK

TRANSMISI

SALURAN

GANGGUAN

(3) Peranan empati dalam proses komunikasi. Setiap komunikasi mempunyai ambaran mengenai penerimaan pesan-pesan oleh komunikan; ia mengantisipasi segala respons yang mungkin dilakukan oleh komunikan. Dalam kegiatan pengajaran, guru mempunyai harapan-harapan mengenai respons siswanya terhadap pesan, informasi atau pelajaran yang akan disajikan. Menurut Berlo, sumber dan penerima pesan masing-masing memiliki keterampilan, sikap, dan pengetahuan tertentu yang berguna untuk melaksanakan proses komunikasi tertentu. Hal ini akan membawa pengaruh kepada kedua belah pihak dalam mereaksi pesan-pesan tertentu. Berdasarkan inilah kita dapat mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang terjadi pada diri orang lain. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengembangkan harapan-harapan mengenai diri orang lain. Keterampilan ini disebut "empati" yaitu kemampuan untuk memproyeksikan diri sendirike dalam pribadi orang lain. Empati mempunyai peranan penting dalam keberhasilan komunikasi pendidikan, sebab pesan yang disampaikan dapat diterima sebaik-baiknya karena sesuai dengan pe-ngalaman dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunikan.

(4) Konsep diri dalam proses komunikasi. Setiap orang memiliki persepsi mengenai apa yang menarik dan tidak bagi dirinya, kemampuan intelektualnya, kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain, dan seagainya. Kumpulan kepercayaan sese-orang terhadap identitas dirinya itu membentuk apa yang disebut sebagai "konsep diri". Konsep diri merupakan pengamatan atas diri sendiri yang berhubungan dengan aspek fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Dengan demikian konsep diri itu berkembang sebagai hasil reaksi terhadap bagaimana orang lainbersikap terhadap kita, bagaimana orang lain mereaksi terhadap kita, dan apa yang diharapkan orang lain dari diri kita. Komunikasi sangat dipengaruhi oleh konsep diri dalam memilih pesan-pesan yang akan disampaikan kepada penerima. Oleh sebab itulah guru hendaknya tidak mengkomunikasikan harapan-harapan negatif kepada para siswanya agar mereka tidak berupaya untuk mewujudkan harapan yang bersifat negatif pula dalam kehidupannya.

(5) Umpan balik dalam proses komunikasi. Komunikasi tidak cukup hanya ditandai oleh adanya kebergantungan secara fisik antara sumber dan penerima pesan, tetapi harus ditandai oleh adanya kebergantungan interaktif diantara keduanya. Kebergantungan interaktif dapat terjadi bilamana stimulus dari satu pihak, yaitu sumber pesan, akan menimbulkan respons pada pada pihak penerima. Sebaliknya, respons penerima akan menjadi stimulus bagi sumber pesan yang diikuti dengan respons dari pihak sumber. Begitulah seterusnya. Informasi tentang bagaimana keberhasilan penerima dalam memperoleh informasi yang disampaikan oleh sumber pesan inilah yang disebut umpan balik. Hal itu bisa diketahui melalui reaksi penerima terhadap sumber pesan selama proses komunikasi itu berlangsung. Misalnya dalam proses belajar-mengajar dalam bentuk tatap muka, guru dapat mengamati langsung bagaimana reaksi atau respons para siswanya, apakah mereka dapat menerima pelajaran yang disampaikannya dengan mudah atau tidak. Umpan balik memegang peranan penting dalam proses komunikasi, sebab hakikatnya komunikasi itu sendiri adalah membagi pesan. Dengan demikian mau tidak mau pihak sumber pesan harus memperoleh umpan balik dari pihak penerima pesan komunikasi guna mengeta-hui keberhasilan kegiatan komunikasi yang dilaksanakannya. Wilbur Schramm kemudian mengadaptasi model Claude Shannon menjadi model proses komuni-kasi yang baru. Dalam proses komunikasi pengajaran ini digambarkan proses interaksi antara pengirim atau sumber dan penerima pesan komunikasi. Proses komunikasi digambarkan oleh model transaksi komunikasi yang menggambarkan kegiatan komunikasi dua arah atau timbal balik. Tidak hanya penerima yang harus menafsirkan pesan pengirim, tetapi pengirim pun harus mampu menafsirkan penerimaan pesan yang ditangkap oleh penerima.

Teknologi pengajaran sebagai upaya untuk membantu para siswa dalam mencapai tujuan pendidikan, banyak dipengaruhi oleh prinsip dan bentuk komunikasi, sebab dalam teknologi pengajaran terkandung upaya bagaimana guru membina, mengarahkan, dan mempengaruhi para siswa dalam mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran melalui pengelolaan informasi, bukan melalui pengajaran dengan semua perangkatnya.

3. Landasan Psikologis

Tujuan pendidikan, termasuk pengajaran, pada hakikatnya adalah diperolehnya perubahan tingkah laku individu. Perubahan tersebut merupakan akibat dari perbuatan belajar, bukan sebagai akibat kematangan. Ciri tingkah laku yang diperoleh dari hasil belajar adalah[11] (1) terbentuknya tingkah laku baru berupa kemampuan aktual dan potensial. (2) kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama, dan (3) kemampuan baru tersebut diperoleh melalui usaha. Studi yang mempelajari tingkah laku individu ada pada psikologi. Oleh sebab itu, teknologi pengajaran sebagai uapaya membantu siswa dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran didasarkan atas psikologi. Di antara cabang-cabang psikologi yang paling erat kaitannya dengan teknologi pengajaran adalah psikologi belajar. Hal ini tidak berarti bahwa cabang psikologi lainnya seperti psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, dan psikologi sosial, tidak penting, namun kontribusi cabang psikologi tersebut tidak sekuat psikologi belajar. Psikologi belajar meletakkan dasar-dasar bagi lahirnya teori belajar, yakni teori yang berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengapa terjadi perubahan tingkah laku pada individu. Teori belajar menjadi dasar dan landasan bagi teori-teori pengajaran yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan bagaimana terjadinya perubahan tingkah laku individu. Dengan perkataan lain, teori pengajaran bersumber dari teori belajar. Teknologi pengajaran pada hakikatnya adalah teori pengajaran seperti halnya teori kurikulum, teori administrasi pendidikan, teori bimbingan penyuluhan, teori penilaian, dan lain-lain. Itulah sebabnya salah satu di antara landasan teori pengajaran atau teknologi pengajaran adalah psikologi belajar.

Pada akhir abad ke-19 ada dua aliran psikologi belajar yang sangat menonjol, yakni aliran behavioristik dan aliran kognitif atau teri komprehensif. Kedua aliran tersebut besar sekali pengaruhnya terhadap teori pengajaran. Bahkan bisa dikatakan hampir semua teori pengajaran yang dilaksanakan saat ini dihasilkan dari kedua aliran psikologi belajar di atas.

Teori atau aliran behavoristik berpendapat bahwa manusia adalah organisme yang pasif, yang sepenuhnya dipengaruhi oleh stimulus-stimulus dari lingkungan. Tingkah laku individu pada dasarnya adalah respons individu terhadap stimulus. Dengan perkataan lain, tingkah laku individu adalah fungsi dari stimulus-respons.

Ada tiga teori belajar aliran behavioristik yang paling terkenal, yakni (a) teori koneksionisme dari Thorndike, (b) teori kondisioning dari Pavlov, dan (c) teori kondi-sioning operan (operant conditioning) dari Skinner.

Teori koneksionisme mengemukakan bahwa proses belajar pada manusia tidak berbeda dengan pada hewan. Belajar adalah pembentukan asoiasi atau koneksi antara kesan-kesan pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak. Thorndike mengemukakan bahwa sifat proses belajar adalah seleksi dan koneksi dan trial and error. Berdasarkan konsep-konsep tersebut Thorndike mengemukakan tiga hukum belajar, yakni hukum kesiapan (law of readiness), hukum pengulangan (law of exercise), dan hukum penguatan (law of effect). Berdasarkan hukum kesiapan, kegiatan belajar hanya akan terjadi apabila individu telah matang atau siap menerima stimulus. Kesiapan ini bergantung pada perkembangan dan kebutuhannya. Oleh sebab itu, teknologi pengajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak didik. Hukum pengula-ngan mengandung makna bahwa belajar memerlukan latihan-latihan yang teratur. Asumsinya adalah, semakin sering diulang, semakin kuat hubungan stimulus dengan respons. Sedangkan hukum penguatan artinya ialah hubungan stimulus respons akan semakin kuat apabila menghasilkan kesenangan dan kepuasan. Hadiah atau reward biasanya merupakan salah satu cara dalam penggunaan hukum penguatan.

Teori kondisioning klasikal (classical conditioning) berpendapat bahwa tingkah laku dibentuk melalui pengaturan dan manipulasi stimulus dalam lingkungan. Proses pembentukan tingkah laku tersebut disebut proses pengondisian. Dalam teori ini tekanan utamanya terdapat pada pengaturan stimulus, sedangkan dalam teori koneksionisme tekanan utamanya ada pada pengaturan respons. Oleh sebab itu, teori kondisioning klasikal disebut tipe stimulus (S-type theory), sedangkan teori koneksionisme disebut R-type theory. Oleh sebab itu, dalam teori kondisioning klasikal, memberikan pancingan dan dorongan stimulus belajar merupakan faktor penting agar dapat menimbulkan respons sehingga terjadi proses perubahan tingkh laku.

Teori kondisioning operan dari Skinner sebenarnya merupakan kombinasi dari kedua teori diatas, terutama sekali dari teori Pavlov dan Watson. Perbedaannya, Skinner memebedakan dua macam respons, yakni respondent response (reflexive) dan operant response (instrumental response). Respondent response adalah respons yang secara alami timbul karena rangsangan yang sesuai dengan stimulus tersebut (eliciting stimulus), sedangkan operant response adalah respons yang timbul dan perkembangannya diikiuti oleh stimulus tertentu yang dapat memperkuat terjadinya respons (reinforcing stimulus). Konsep ini pada dasarnya sama dengan hukum penguatan dari Thorndike.

Berdasarkan konsep ini maka dikembangkan sistem pengajaran yang dikenal dengan istilah modifikasi tingkah laku dengan elemen utamanya hadiah dan hukuman. Prosedur yang ditempuh adalah:

a. menentukan jenis tingkah laku yang dikehendaki (tujuan)

b. menganalisis komponen tingkah laku yang mendasari tingkah laku yang dikehendaki.

c. Mengidentifikasi hadiah (reinforcer) yang sesuai untuk setiap komponen.

d. Melaksanakan pembentukan tingkah laku sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.

Salah satu bentuk pengajaran yang dikembangkan dari teori Skinner adalah pengajaran berprogram dan mesin mengajar.

Teori-teori kognitif atau komprehensif sesungguhnya bertolak dari hasil penelitian Wofgang Kohler dengan simpansenya. Menurut teori ini manusia pada hakikatnya adalah organisme yang aktif. Tingkah laku individu merupakan fungsi dari organisme dan lingkungannya. Kesatuan antara kemampuan organisme dan lingkungan merupakan inti dari teori ini. Oleh sebab itu, ciri utama teori ini adalah (a) mengutamakan kemampuan individu, (b) mengutamakan keseluruhan daripada bagian-bagian, (c) pentingnya peranan kognisi manusia, (d) mementingkan keseimbangan dalam diri individu, dan (e) pentingna pemahaman dan pemecahan masalah.

Teori belajar yang digolongkan ke dalam aliran kognitif adalah (a) teori Gestalt, (b) teori medan, dan (c) teori belajar humanistik.

Teori belajar Gestalt berpendapat bahwa tingkah laku manusia dipandang sebagai auatu keseluruhan yang tidak dapat diuraikan ke dalam elemen-elemen yang terpisah satu sama lain. Gestalt memandang keseluruhan lebih berarti daripada bagian, dan keseluruhan bukan berarti perjumlahan dari bagian.

Berdasarkan teori ini terdapat sejumlah hukum yang dapat digunakan dalam teori pengajaran, yakni:[12]

a. Hukum penuh arti yang menjelaskan adanya kecenderungan pada individu untuk mengamati sesuatu dengan penuh arti melalui pengaturan bentuk, warna, ukuran, dan lain-lain.

b. Hukum persamaan yang menjelaskan bahwa hal-hal yang sama cenderung akan membentuk kseluruhan.

c. Hukum keterdekatan yang menjelaskan bahwa hal-hal yang berdekatan cenderung membentuk keseluruhan.

d. Hukum ketertutupan yang menjelaskan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung akan membentuk keseluruhan.

e. Hukum kontinuitas yang menjelaskan bahwa hal-hal yang berkesinambungan cenderung membentuk keseluruhan.

Belajar lebih menitik beratkan pemahaman, dan pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh kematangan, perbedaan individu, pengalaman masa lalu, pengaturan situasi, dan lain-lain.

Teori medan dikembangkan oleh Kurt Lewin dengan mencoba mengembangkan lebih lanjut teori Gestalt. Menurut Kurt Lewin, belajar dalah perubahan struktur kognitif, pentingnya motivasi dan apresiasi tentang kesuksesan dan kegagalan yang bersifat individual. Kesuksesan dan kegagalan merupakan sarana motivasi untuk belajar lebih lanjut. Perasaan sukses perlu ditimbulkan agar lebih giat, sebaliknya kegagalan harus dihindari agar tidak putus asa. Hadiah dan hukuman perlu diberikan dalam dosis yang tepat agar mampu mendorong timbulnya motivasi.

Teori humanistik dipelopori oleh Maslow dan Carl Rogers. Menurut Maslow, tingkah laku manusia didorong oleh adanya kebutuhan yang menuntut pemuasan. Ia mengemukakan bahwa ada sejumlah kebutuhan manusia secara hierarkis. Kebutuhan tersebut adalah (a) kebutuhan fisiologis, (b) kebutuhan rasa aman, (c) kebutuhan sosial dan kasih sayang, (d) kebutuhan harga diri, (e) kebutuhan untuk aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan tersebut di atas maka strategi belajar megajar harus dipilih agar memungkinkan terciptanya suasana sosioemosional para siswa sehingga terdapat hubungan interpersonal antara guru dengan siswa. Hubungn ini hanya mungkin diciptakan apabila guru memahami kebutuhan para siswa. Selanjutnya Rogers mengemu-kakan bahwa suasana belajar dan hubungan interpersonal tersebut, di samping memahami kebutuhan siswa, memerlukan sikap guru terhadap siswanya. Sikap tersebut antara lain (a) tulus ikhlas membantu para siswa dalam proses belajarnya, (b) menerima dan menghargai siswa baik sebagai pribadi maupun makhluk sosial yang memiliki kemampuan berbeda satu sama lainnya, dan (c) memahami dan ,emgerti para siswa dari sudut pandangan siswa sendiri. Teori ini juga menghindari hukuman kepada siswa dalam hal pelanggaran, tetapi membicarakan situasi yang terjadi akibat adanya pelanggaran. Proses belajar mengembangkan dan membina rasa kebersamaan antara guru dengan siswa. Keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah merupakan aspek dalam proses belajar.

Teknologi pengajaran sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran tidak bisa melepaskan diri dari kaidah dan hukum-hukum tentang terjadinya perubahan tingkah laku individu (teori belajar). Teknologi pengajaran diciptakan dan diusahakan berdasarkan teori-teori belajar. Oleh sebab itu, teori pengajaran, termasuk teknologi pengajaran, bersumber dari teori belajar. Teori pengajaran berusaha mancari jawaban atas bagaimana membantu siswa agar siswa berubah tingkah lakunya, sedangkan teori belajar berusaha mencari jawaban atas mengapa terjadi perubahan tingkah laku individu. Jawaban atas "bagaimana" hendaknya dilakukan setelah ditemukan jawaban atas pertanyaan "mengapa".

BAB III

KAWASAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Pokok Bahasan

Kawasan teknologi pendidikan dan kawasan teknologi instruksional

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan baik kawasan teknologi pendidikan

2. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan baik kawasan teknologi instruksional

3. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan secara detiil antara kawasan teknologi pendidikan dengan kawasan teknologi pengajaran

C. Uraian Materi

Dalam teknologi pendidikan, pemecahan masalah itu terjelma dalam bentuk semua Sumber Belajar yang didisain dan/atau dipilih dan/atau digunakan untuk keperluan belajar, sumber-sumber belajar ini diidentifikasi sebagai Pesan, Orang, Bahan, Peralatan, Teknik dan latar (lingkungan). Proses analisis masalah, penentuan cara pemecahan, pelaksanaan dan evaluasi pemecahan masalah tersebut tercermin dalam Fungsi Pengembangan Pendidikan dalam bentuk Riset-teori, Disain, Produksi, Evaluasi-seleksi, Logistik, Pemanfaatan dan Penyebarluasan/pemanfaatan, proses pengarahan atau koordinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tercermin dalam Fungsi Pengelolaan Pendidikan yang meliputi pengelolaan organisasi dan pengelolaan personel. Hubungan antara unsur-unsur ini dapat ditunjukkan dalam Model Kawasan Teknologi Pendidikan.

Bagan 1.1.[13]

KAWASAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Definisi unsur-unsur dalam kawasan Teknologi Pendidikan Terpadu disajikan dalam tabel 1.1.,1.2., dan 1.3.,

Teknologi Pendidikan merupakan profesi dalam bentuk usaha yang terorganisasikan untuk menerapkan teori, teknik intelektual dan penerapan praktis teknologi pendidikan.

Teknologi pendidikan sering dikacaukan dengan "Teknologi dalam pendidikan".

Teknologi dalam pendidikan adalah penerapan teknologi terhadap sembarang proses yang berkenaan dengan bekerjanya lembaga yang bergerak dalam usaha pendidikan. Teknologi tersebut dapat juga diterapkan terhadap makanan, kesehatan, keuangan, pembuatan jadwal, pelaporan nilai, dan lain-lain proses yang menunjang pendidikan dalam kerangka kelembagaan. Teknologi dalam pendidikan tidak sama dengan teknologi pendidikan.

Teknologi pendidikan sering dikacaukan dengan "Teknologi instruksional". Teknologi instruksinoal adalah bagian teknologi pendidikan berdasar atas konsep bahwa pembelajaran (instruction) adalah bagian dari pendidikan. Teknologi instruksional adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi dimana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi instruksional, pemecahan masalah itu berupa Komponen Sistem Instruksional yang telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan, serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem instruksional yang lengkap, komponen-komponen ini meliputi; Pesan, Bahan, Orang, Peralatan, Teknik dan Latar. Proses analisis masalah dan mencari cara pemecahan, implementasi dan evaluasi pemecahan itu diidentifikasi melalui Fungsi Pengembangan Instruksional yang meliputi Riset-teori, Disain, Produksi, Evaluasi, Pemilihan, Pemanfaatan dan penyebarluasan-pemanfaatan. Proses pengarahan atau koordinasi satu atau lebih fungsi ini diidentifikasi melalui Fungsi Pengelolaan Instruksional yang meliputi baik pengelolaan Organisasi maupun pengelolaan Personel. Hubungan timbal-balik antara unsur-unsur ini ditujukan dalam Model Kawasan Teknologi Instruksional.

Pengertian unsur-unsur dalam Kawasan Teknologi Instruksional disajikan dalam tabel 1.1,1.2,1.3.

Bagan 1.2.

KAWASAN TEKNOLOGI INSTRUKSIONAL

Jadi, semua teknologi instruksional dapat masuk dalam kerangka parameter teknologi pendidikan, namun sebaliknya semua unsur teknologi pendidikan tidak dapat masuk dalam kerangka parameter teknologi instruksional. Jikalau teknologi instruksional beroperasi, begitu pula teknologi pendidikan; namun kebalikannya tidaklah selalu demikian. Dalam teknologi pendidikan, fungsi pengembangan dan pengelolaan itu lebih luas, sebab meliputi lebih banyak sumber belajar daripada sekedar komponen sistem instruksional, yaitu mencakup semua sumber yang dapat digunakan untuk memberi kemudahan belajar.[14]

Definisi teknologi pendidikan tersebut bisa membentuk teori, sebab memenuhi kriteria seperti: adanya fenomenon, penjelasan inti isi (ringkasan), orientasi, sistematika, identifikasi kesenjangan, melahirkan strategi untuk mengadakan riset, prediksi dan prinsip atau serangkaian prinsip.

Teknologi pendidikan memiliki Teknik Intelektual yang unik – sebuah pendekatan pemecahan masalah. Masing-masing fungsi pengembangan dan pengelolaan mempunyai teknik sendiri-sendiri yang berhubungan dengan itu. Namun demikian, teknik intelektual pada teknologi pendidikan lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian ini. Didalamnya tercakup integrasi sistematis masing-masing teknologi dari fungsi-fungsi ini, dan hubungan timbal-balik satu sama lain, ke dalam proses yang kompleks lagi terpadu untuk menganalisa keseluruhan masalah dan mencari pemecahannya. Proses itu menimbulkan efek sinergistik, dan hasilnya tidak lagi menggambarkan masing-masing unsur yang beroperasi secara terpisah. Teknik intelektual ini menunjukkan keunikan teknologi pendidikan; tidak ada bidang lain yang menggunakan teknik tersebut.

Teknologi pendidikan memiliki aplikasi-aplikasi praktis. Tersedianya sumber-sumber untuk belajar, dan penampilan fungsi pengembangan dan pengelolaan, menunjukkan bukti yang paling dasar dan nyata dari aplikasi praktis ini. Kecuali itu, aplikasi teknologi pendidikan mempengaruhi struktur organisasi pendidikan sebab: (1) aplikasi itu memperluas pengaruhteknologi pendidikan ke tingkat strategi pengembangan atau malahan penetapan kurikulum; (2) aplikasi itu memungkinkan timbulnya empat jenis pola pendidikan – orang sebagai sumber satu-satunya, sumber-sumber lain yang digunakan (dikontrol) oleh orang – orang bersama-sama memikul tanggung jawab dengan sumber-sumber lain (dikombinasikan ke dalam sistem pendidikan dengan menggunakan pengajaran melalui media), semata-mata hanya menggunakan sumber belajar (pengajaran melalui media); (3) aplikasi itu memungkinkan timbulnya alternatif bentuk-bentuk kelembagaan untuk memberikan kemudahan belajar, dan dapat membantu semua jenis alternatif lembaga ini. Kesemua penerapan ini mempunyai dampak yang nyata terhadap proses pendidikan tertentu: mengubah teknik pelaksanaan dan orang yang melaksanakan, penentuan isi (termasuk standarisasi, pilihan, kuantitas,dan kualitas), disain, produksi dan evaluasi pembelajaran, dan interaksi dengan serta penilaian terhadap pelajar. Hasilnya membawa perubahan yang drastis dalam peranan sistem sekolah dan guru secara orang-perorangan.

Teknologi pendidikan memiliki petunjuk untuk latihan dan pemberian kepada fihak-fihak yang melaksanakan tugas dalam bidang teknologi pendidikan. Kerangka kerja tersebut didasarkan atas pengelompokan tugas dari berbagai fungsi dalam kawasan teknologi pendidikan dan teknologi instruksional. Pengelompokan tersebut mencerminkan adanya spesialisasi dan tingkat penguasaan di bidang spesialisasi yang bersangkutan. Spesialisasi itu meliputi: (1) pengembangan program instruksional, (2) pengembangan produk media, dan (3) pengelolaan media. Sedangkan tiga tingkat kompleksitas tugas itu meliputi pembantu, teknisi dan spesialis. AECT dewasa ini memiliki pedoman penyelenggaraan program latihan bagi dan sertifikasi terhadap teknisi dan spesialis untuk masing-masing ketiga bidang spesialisasi, dan mengembangkan prosedur untuk melaksanakan pedoman tersebut.

Teknologi pendidikan memiliki kemungkinan untuk pengembangan dan melaksanakan kepemimpinan. Kepemimpinan profesional dilaksanakan melalui berbagai macam konferensi yang bertujuan mengembangkan kepemimpinan dan lewat program-program magang. Sebagai tambahan, teknologi pendidikan melengkapi fungsi kepemimpinan dalam bidang pendidikan dengan jalan berpartisipasi dalam kelompok kerja sama, beasiswa, dan publikasi.

Teknologi pendidikan memiliki asosiasi (perkumpulan) dan komunikasi profesional. Sekurang-kurangnya terdapat satu asosiasi profesional yang secara langsung menyangkut masalah teknologi pendidikan – Asosiasi untuk Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (the Association for Educational Communications and Technology). Untuk mempermudah komunikasi diantara para anggota adalah melalui konvensi tahunan dan tiga penerbitan berkala; kesemuanya membantu pengembangan dan implementasi standar dan etika, kepemimpinan, dan latihan serta pemberian sertifikat untuk profesi tersebut. Teknologi pendidikan mengaku dirinya sebagai profesi melalui asosiasi profesi dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya.[15]

Teknologi pendidikan beroperasi dalam konteks masyarakat yang lebih luas; membantu profesi yang berkenaan dengan penggunaan dan penerapan teknologi. Lebih jauh sebagai profesi, teknologi pendidikan berfihak pada sikap kemandirian dan kebebasan intelektual, berfihak pada tindakan yang legal, menentang bahan-bahan yang bersifat klise, dan berfihak pada usaha mengarahkan teknologi untuk membantu usaha manusia dalam memenuhi tujuan hidupnya.

Teknologi pendidikan bergerak dalam keseluruhan bidang pendidikan. Dalam hubungannya dengan profesi lain yang juga bergerak di bidang pendidikan, teknologi pendidikan mengusahakan terciptanya keseimbangan dan hubungan kerja sama yang selaras diantara berbagai profesi ini.

Jika dikatakan definisi yang disajikan disini memenuhi semua kriteria lahirnya sebuah teori (butir 1-4), maka teknologi pendidikan adalah teori tentang bagaimana masalah-masalah belajar manusia diidentifikasi dan dipecahkan. Jika dikatakan bahwa definisi ini memenuhi semua kriteria untuk lahirnya suatu bidang studi (butir 1-6), maka teknologi pendidikan adalah suatu bidang yang mencakup aplikasi proses yang kompleks lagi terpadu untuk mengnalisis dan memecahkan masalah-masalah belajar manusia.

BAB IV

PERKEMBANGAN TEORI PERSPEKTIF HISTORIK

A. Pokok Bahasan

Perkembangan teori perspektif historik teknologi pendidikan

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan perkembangan teori perspektif historik teknologi pendidikan

2. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan sejarah, teori teknologi pendidikan baik masa-masa awal sampai sekarang

3. Mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan pembelajaran visual, pembelajaran visual ke pembelajaran audio visual, pembelajaran audio visual ke teori komunikasi

C. Uraian Materi

1. Masa-Masa Awal

Kebudayaan kita adalah kebudayaan yang menghasilkan pengetahuan dan kebudayaan itu lahir pada masa Revolusi Industri Kedua, yang merupakan abad otomatisasi, dan abad tenaga atom. Teknologi instruksional mempunyai hubungan dengan perkembangan itu, dan dapat dikatakan telah dimulai pada awal tahun 1920-an.(Finn,1967)

Teknologi pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu bidang studi yang baru. Saettler (1968) menelusuri filosofi teknologi pendidikan, dan menganggap landasan itu telah ada pada zaman keemasan Yunani, yang dilakukan oleh kaum sufi. Meskipun mata-rantai perkembangan itu secara historis dapat dipertanggung-jawabkan, dan memberikan bukti bahwa teknologi pendidikan merupakan bidang garapan yang sudah mapan dan patut dihargai, namun secara operasional hal itu tidak serasi. (Wallington, 1974, hlm.15).

Pembahasan sejarah singkat berikut ini bertolak dari Finn, yaitu dengan memakai tahun 1920-an sebagai awal teknologi pendidikan. Pembahasan diawali dengan adanya gerakan serta definisi formal pertama yang berhubungan dengan teknologi pendidikan, yaitu pengajaran visual.[16]

2. Pembelajaran Visual

Yang dimaksud dengan alat bantu visual yaitu gambar, model, objek atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkrit melalui visualisasi kepada siswa dengan tujuan untuk (1) memperkenalkan, menyusun, memperkaya atau memperjelas konsep-konsep yang abstrak, (2) mengembagkan sikap yang diinginkan, dan (3) mendorong timbulnya kegiatan siswa lebih lanjut.

Alat bantu visual umumnya diklasifikasikan mulai dari tingkat kekonkretannya sampai dengan tingkat yang makin abstrak (Hoban, Hoban dan Zisman, 1937, hlm. 9-10). Buku teks pertama yang komprehensif mengenai pembelajaran visual, dan yang pertama kali pula berkepentingan untuk mengintegrasikan bahan-bahan visual kedalam kurikulum sekolah (Saettler, 1968, hlm. 153, mengenai buku Anna V. Dorris "Visual Instruction in the Public Schools", 1928).

Aliran pembelajaran visual didasarkan pada konsep penggunaan bahan visual untuk membuat lebih konkrit konsep abstrak yang diajarkan. Disamping konsep "membuat konkrit" ini, aliran pembelajaran visual menambahkan dua konsep lagi yang masih bermanfaat hingga sekarang.

Pertama-tama aliran tersebut memperkenalkan gagasan untuk meng-klasifikasikan jenis alat-alat bantu visual, dan tidak sekedar mendaftar saja. Kedua, menekankan pentingnya pengintegrasian bahan visual kedalam kurikulum, dan bukannya dipakai secara terpisah-pisah.

Kelemahan aliran tersebut adalah karena hanya mengutamakan bahan itu sendiri, dan kurang memperhatikan disain, pengembangan, produksi, evaluasi dan pengelolaan bahan itu. Kegiatan-kegiatan tersebut bukannya tidak dipertimbangkan, melainkan dianggap kurang penting, karena perhatian dipusatkan kepada bahan itu sendiri. Kelemahan lain adalah adanya anggapan bahwa bahan visual merupakan "alat bantu" dan bukan merupakan suatu yang mampu membawakan unit pembelajaran sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh aliran ini berkisar pada survei tentang peralatan , bahan dan pendidikan guru (lihat Saettler,1968). Meskipun demikian ada satu studi (Judd, 1923) yang mencoba menilai efektivitas penggunaan alat bantu visual.

Eksperimen dan penelitian pendidikan dengan maksud untuk menemukan dan mengembangkan cara-cara yang terbaik dalam pemanfaatan gambar hidup untuk kegiatan mengajar, perlu lebih banyak dilakukan. Dengan timbulnya rekaman suara dan film bersuara, aliran pembelajaran visual diperluas dengan menambahkan suara.

3. DARI PEMBELAJARAN VISUAL KE PEMBELAJARAN AUDIOVISUAL

Ditinjau dari segi teknis, yang dimaksud pembelajaran audio visual menunjuk pada beberapa macam perangkat keras … yang dipakai guru untuk menyampaikan ide dan pengalaman melalui mata dan telinga …. Perbedaan utama antara pembelajaran audio visual dengan teknik instruksional lainnya sekedar terletak pada masalah penekanan. Pembelajaran audio visual memberikan tekanan pada pengalaman konkrit atau non-verbal dalam proses belajar, sedangkan teknik instruksional lainnya pada pengalaman verbal dan simbolis …. Kita tidak boleh menganggap pembelajaran audfio visual sebagai metode pengajaran. Bahan audio visual hanya berguna apabila dipakai sebagai bagian integral dari proses instruksional (McClusky, 1949, hlm. 6).

Peralatan dan bahan audio visual jangan diklasifikasikan secara khusus sebagai sesuatu yang memberikan pengalaman melalui mata dan telinga, melainkan sebagai sarana teknologi modern yang menyajikan pengalaman konkrit dan kaya kepada siswa (Dale, Finn, dan Hoban, 1949, hlm.253).

Sekalipun pembelajaran audio visual menambahkan komponen audio ke dalam aliran pembelajaran visual, namun penambahan konseptual hanya sedikit. Aliran ini tetap mempertahankan rentangan (continuum) abstrak – konkrit (dengan bahan audiovisual pada ujung yang lebih konkrit) serta mengklasifikasikan jenis bahan, dan bukannya sekedar mendaftar jenis bahan itu. Penuangan konsep yang paling nyata terdapat dalam Kerucut Pengalaman (Dale, 1954). Aliran ini juga masih menekankan bahwa bahan audio visual perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum.

Aliran pembelajaran audio visual juga masih mengandung dua kelemahan yang terdapat pada aliran yang mendasarinya, yaitu lebih menaruh perhatian kepada bahan daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap memandang bahan audio visual sebagai alat bantu guru dalam pengajaran.

Meskipun demikian, penelitian tentang efektivitas bahan audio visual serta jenis bahan mana yang paling efektif untuk keperluan pengajaran, banyak dilakukan (Hoban dan Van Omer, 1950; Dale, Finn dan Hoban, 1949)

Pada akhir Perang Dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dalam bidang audio visual ke arah dua kerangka konseptual baru yang pararel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem awal.[17]

4. DARI PEMBELAJARAN AUDIOVISUAL KE TEORI KOMUNIKASI

Pendekatan yang lebih bermanfaat untuk memahami dan meningkatkan efisiensi dalam bidang audio visual tampaknya terletak pada teori komunikasi (Hoban,1956, hlm.9)

… Kami menaruh perhatian pada komunikasi; kami berminat terhadap jawaban atas pertanyaan: "Apa artinya berkomunikasi?"

Ketika saya memikirkan tentang efektivitas bahan audio visual, saya menemukan bahwa bacaan dan pemikiran tentang komunikasi merupakan salah-satu dari metode evaluasi yang paling bermanfaat. Singkatnya saya bertanya pada diri saya: "Teori umum komunikasi manakah yang dapat saya pakai dan paling bemanfaat bagi saya …" (Dale, 1953, hlm.3)

Orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi, mengubah kerangka teori bidang itu. Perhatian tidak lagi dipusatkan kepada "benda-benda", melainkan kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber (baik itu guru maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (si-belajar)

Untuk menggambarkan seluruh proses ini, orientasi komunikasi menambahkan konsep kedua yang dapat diterapkan pada definisi yang berlaku sekarang, yaitu pemanfaatan model yang dinamis. Kerucut Pengalaman Dale dimaksudkan pula sebagai model, tetapi model ini menggambarkan teknik instruksional dalam keadaan statis, dan yang memandang dari satu sisi saja yaitu pengajar. Sedang model yang diciptakan teoritisi komunikasi merupakan model proses yang dinamis, yaitu menunjukkan unsur-unsur yang terlibat dalam proses itu dan saling berhubungan diantaranya. Jadi melibatkan lebih banyak daripada sekedar bahan yang dipakai untuk menyajikan pesan.

Diantara model-model proses komunikasi yang dikembangkan (lihat Hall dan Byrnes, 1960) barangkali model S-M-C-R (Berlo, 1960) merupakan model yang paling sederhana dan paling bermanfaat dalam menghasilkan konsep-konsep yang berhuibungan dengan teknologi pendidikan. Model Berlo ini diperlihatkan dalam gambar 3.1.

Gambar 3.1.[18]

SUATU MODEL RAMUAN KOMUNIKASI*

Sumber Pesan Saluran Penerima

(Source=S) (Message=M) (Channel=C) (Receiver=R)

Model ini menunjukkan kedua konsep tersebut diatas. Model ini memperhatikan keseluruhan proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima, dan menunjukkan unsu-unsur yang terlibat dalam proses, serta saling hubungannya yang dinamik. Sebagai tambahan, unsur-unsur yang ditunjukkan dalam model ini mengungkapkan konsep-konsep penting yang perlu diperhatikan.

Ditinjau dari segi komunikasi, si-belajar (penerima) dan guru atau bahan (sumber) menjadi bagian integral dari teknologi pendidikan. Kedua unsur tersebut tidak dipandang sebagai suatu yang ada di luar bidang teknologi pendidikan.

Isi pesan, baik struktur maupun penggarapannya, dipandang sebagai bagian dari proses komunikasi, oleh karenanya juga menjadi bagian dari teknologi pendidikan.

Kelima macam indera dianggap sebagai bagian dari proses komunikasi, suatu konsep yang lebih menyeluruh daripada "pengalaman mata dan telinga" dalam aliran audio visual.

Semua jenis pesan yang menggunakan semua jenis kode (baik yang verbal, simbolik maupun yang dapat diraba), serta ujud konkrit yang terdapat dalam aliran audiovisual, dipandang sebagai bagian dari proses komunikasi; oleh karenanya juga menjadi bagian dari teknologi pendidikan.

Sekalipun model ini tampaknya linear, namun komunikasi jarang sekali terjadi satu arah; komunikasi berlangsung dua arah. Model komunikasi yang lebih kompleks, terutama model Wesley MacLean (1957) dan Berlo Interpreter (1960) memperhatikan hal itu, dan menambahkan unsur baru dalam model yaitu umpan balik. Umpan balik adalah informasi yang dikirimkan kembali oleh penerima kepada sumber, yang menunjukkan reaksinya atas pesan yang diterimanya.

Sebagai tambahan atas ketujuh konsep tersebut, orientasi komunikasi melengkapi teknologi pendidikan dengan sejumlah penelitian yang penting (lihat Ball dan Byrnes, 1960) yang berhubungan dengan unsur-unsur proses komunikasi serta hubungan diantara unsur-unsur itu. Sementara transisi dari pembelajaran audio visual ke komunikasi berlangsung, secara paralel berlangsung pula transisi lain yang terpsah namun ada kaitannya.

BAB V

Tumbuh Dan Berkembangnya Konsep Teknologi Pendidikan

A. Pokok Bahasan

Tumbuh dan berkembangnya konsep teknologi pendidikan

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan tumbuh dan berkembangnya konsep teknologi pendidikan

2. Mahasiswa dapat menjelaskan perkembangan konsep teknologi pendidikan dari para filosof awal sampai perkembangan konsep teknologi pendidikan di Indonesia

C. Uraian Materi

1. Pendahuluan

Tumbuh dan berkembangnya suatu konsep tidak akan terlepas dari konteks dimana konsep itu dapat tumbuh, serta apa dan bagaimana awal perkembangan konsep itu sendiri. Misalnya, konsep "sekolah" yang merupakan lembaga khusus untuk menyelenggarakan pendidikan akan dapat tumbuh bilamana konteks masyarakat memungkinkannya (adanya kebutuhan yang dirasakan oleh anggota masyarakat, adanya tenaga profesional yang mengelola dan sebagainya). Dalam bahasa keseharian, konteks dapat dianalogikan dengan "lahan", dan awal konsep rumusan konsep dianalogikan dengan "benih". Sehingga lahan yang masih kosong dapat ditumbuhkan benih didalamnya.

Setiap konsep tentu memerlukan "istilah" atau "nama" yang diciptakan sebagai lambang untuk mengidentifikasi konsep yang dimaksud (misalnya istilah "sekolah"), dan untuk mengomunikasikan gagasan yang ada didalamnya. Istilah itu harus menunjukkan "gagasan", yaitu gambaran mental mengenai sesuatu gejala, dan harus pula mewakili adanya sejumlah "rujukan", yaitu gejala konkret yang dapat dikenal dengan pengindraan. Sedangkan gagasan mengarahkan (memberikan batasan) pada sejumlah kenyataan yang ada pada rujukan.

Oleh Ogden dan Richard seperti dikutip Mayer dan Greenwood (1984) konsep itu dijelaskan dengan Segitiga Acuan yang diilustrasikan pada gambar 2.1

GAGASAN

menunjukkan mengacu

ISTILAH RUJUKAN

Gambar 2.1 Segitiga Acuan Konsep

(Ogden dan Richard, dikutip oleh Mayer dan Greenwood)[19]

Istilah "sekolah" menunjukkan gagasan adanya kegiatan pendidikan yang terstruktur dan diselenggarakan secara profesional. Istilah itu mewakili sejumlah rujukan yang terdiri atas gedung dengan segala fasilitasnya (kursi, meja, papan tulis, dan sebagainya), siswa, guru, pengelola (kepala sekolah), tenaga tata usaha, kurikulum, proses belajar-pembelajaran, dana operasional, dan lain-lain. Gagasan itu sendiri mengacu pada sejumlah rujukan yang telah diidentifikasi mewakili istilah.

Dalam makalah ini akan dibahas konteks tumbuhnya konsep teknologi pendidikan dengan membahas perkembangan pendidikan dan teknologi, dilanjutkan dengan pembahasan perkembangan konsep teknologi pendidikan itu sendiri dimancanegara dan Indonesia.

2. Perkembangan Pendidikan

Pendidikan telah berlangsung sejak awal peradaban dan budaya manusia. Bentuk dan cara pendidikan itu telah mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Pada awal peradaban, para orang tua bersama kelompoknya bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan. Bila orang tua atau keluarganya hidup dengan bertani, maka anak-anaknya juga diajar bertani melalui pengalaman langsung. Demikian juga kalau orang tuanya berdagang, maka anak-anaknya juga diajar berdagang. Pada masa itu belum ada program pendidikan yang dilaksanakan diluar lingkungan keluarga atau kelompok oleh orang-orang diluar keluarga/kelompok, atau pendidikan yang terstruktur.

Kapan pendidikan yang terstruktur mulai dilaksanakan, dan apa tujuan dan caranya? Tidak ada yang dapat memastikan kapan pendidikan terstruktur dimulai. Dokumen tertulis mengenai perkembangan pendidikan sejak awal peradaban lebih banyak berdsarkan pendapat para sejarawan yang mengkaji perkembangan kebudayaan Barat. Dalam kurun waktu yang berbeda beberapa penulis seperti Thomson (1951), Saettler (1968), Ashby (1972), serta Ornstein dan Levine (1981) berpendapat tentang awal pendidikan terstruktur dimulai pada sekitar tahun 500 SM oleh kaum Sufi (Shopist). Mereka ini disebut sebagai "penjaja pengetahuan" (knowledge peddlers – Saettler), atau "guru pengelana" (wandering teachers – Ornstein dan Levine), karena mereka menawarkan pendidikan secara berkeliling dan tidak menetap di suatu tempat. Oleh Ashby, berlangsungnya pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum sufi itu dinyatakan sebagai terjadinya revolusi pertama dalam bidang pendidikan. Revolusi ini terjadi dengan diserahkannya pendidikan anak dari orang tua kepada orang lain yang berprofesi sebagai "guru".

Beberapa tokoh "guru pengelana" tersebut[20] adalah Socrates (469-399 SM), Plato (439-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates diketahui sebagai seorang filsuf yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh kebenaran, keindahan dan kebajikan. Cara mengajar terutama dilakukan dengan dialog lisan berdasarkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan keseharian. Dengan dialog tersebut pada akhirnya akan diperoleh hakikat tentang kebenaran, keindahan dan kebajikan. Cara dialog sampai sekarang masih banyak digunakan, dan bahkan sering kali disebut sebagai metode Socratic.

Salah seorang murid Socrates yang terkenal adalah Plato. Kalau Socrates mengajar secara lisan dengan dialog, Plato menulis buku Protagoras, Republic, dan Laws. Plato berpendapat bahwa kebenaran, kebajikan, keindahan, dan keadilan adalah bersifat universal. Karena kebenaran itu bersifat universal, maka pendidikanpun harus bersifat universal. Kenyataan hanya dapat dipahami melalui intelektualitas, karena itu pendidikan harus menekankan pada pengembangan intelektualitas. Kesempatan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh Plato terbatas pada mereka yang memiliki intelektualitas terpilih. Menurut pendapat Plato manusia akan dianggap baik dan terhormat apabila perilakunya sesuai dengan konsep ideal tentang kebajikan dan keadilan.

Salah seorang murid Plato yang terkenal adalah aristoteles. Ia juga dikenal sebagai tutor Raja Iskandar Agung (Alexander the Great). Dia mendirikan lembaga pendidikan yang disebut Lyceum. Kecuali itu, ia banyak menulis buku dalam berbagai subjek seperti fisika, astronomi, zoologi, botani, logika, etika, dan metafisika. Manusia dianggapnya sebagai makhluk yang rasional, karna itu memiliki kemampuan untuk mengamati dan memahami hukum alam yang mengatur kehidupan. Manusia yang terdidik mampu menerapkan pikirannya dalam perilaku etik dan politik. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, dan karena itu kehidupan yang baik adalah keselarasan. Aristoteles menekankan perlunya pendidikan sebagai landasan perkembangan kebudayaan. Kalau pendidikan diabaikan, maka masyarakat akan terpuruk. Ketiga tokoh yang disebut dimuka, dapat dikatakan para pendahulu (nenek moyang) pendidikan. Perkembangan budaya selanjutnya telah melahirkan pendidikan yang lebih terstruktur dalam bentuk sekolah dengan kurikulum tertentu. Berikut ini ditampilkan beberapa tokoh pendidikan dengan berbagai gagasan dan konsep yang mereka kemukakan. Tokoh-tokoh ini sengaja dipilih karena dalam pembahasan kemudian dapat dianggap sebagai lahan persemaian pembaruan pendidikan, atau tumbuhnya bidang-bidang spesialisasi baru dalam pendidikan termasuk teknologi pendidikan. Pembahasan tentang tokoh-tokoh ini lebih banyak didasarkan pada buku Ornstein dan Levine.

Jan Komensky (Comenius 1592-1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memeperoleh pendidikan tniggi di Jerman. Lomensky berpendapat bahwa: 1) lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, dengan memperbolehkan berbagai kegiatan yang sesuai; 2) pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan objek yang dikenal pula. Pendapatnya ini antara lain diwujudkan dengan ditulisnya buku Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar (misalnya, gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan masing-masing objek dalam gambar tersebut dengan istilah latin dan bahasa keseharian. Perlu diperhatikan bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan indra untuk belajar. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) adalah seorang ilmuwan dan politisi Perancis kelahiran Swiss, yang banyak menaruh perhatian pada filsafat sosial dan pendidikan. Rousseau dikenal dengan suatu buku novel yng ditulisnya dengan judul Emile. Dalam buku itu dituliskan gagasan dan pendapatnya. Dia berpendapat antara lain bahwa masyarakat telah memenjarakan anggotanya melalui serangkaian lembaga. Anak-anak harus dibebaskan dari penjara yang paling menekan, yaitu sekolah yang mengharuskan anak menerima gagasan, kebiasaan, dan perilaku yang telah ditentukan sebelumnya. Lingkungan alam merupakan guru paling baik. Pengeta-huan berkembang melalui pengindraan dan perasaan. Oleh karena itu, Rousseau menganjurkan adanya kebebasan dan kemajuan, semua aturan yang membatasinya harus ditiadakan.

Johann Peztalozzi (1747-1827) adalah seorang pendidik Swiss yang pendapat-nya cenderung mendukung Rousseau. Dia sependapat dengan Rousseau bahwa pada hakikatnya semua manusia itu terlahir dengan baik, tetapi dapat rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif , yang tercermin antara lain dengan sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan dan penghafalan. Seko-lah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu menjembatani peruba-han sosial. Belajar menurut Peztalozzi terjadi karena adanya rangsangan pengindraan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti perkembangan alamiah: konkret ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar, gradual dan komulatif.

Fredrich Froebel (1782-1852) merupakan seorang pendidik Jerman yang sa-ngat dikenal dengan konsep pendidikan bagi anak usia dini yang disebut "kindergar-ten". Yang agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai kariernya sebagai seorang rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator musem, sebelum akhir-nya terjun dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada perlunya perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang berbasis pada aktivitas diri, karena itu perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai (termasuk bermain, menyanyi, menggambar, berkarya dan sebagainya pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu, pendidikan harus berlang-sung dengan memerhatikan harga diri siswa, dan dengan memberikan contoh menge-nai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung.

Johann Herbart (1776-1841) adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan kontribusinya dalam bidang pendidikan moral dan metodologi pembelajaran. Menurut Herbart, tujuan akhir pendidikan adalah perkembangan moral. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang baik, tetapi kalau moral dan pengetahuannya tidak dikembangkan, maka mereka cenderung membuat kesalahan. Oleh karena itu, ada dua kelompok ajaran yang perlu diberikan, yaitu pengetahuan dan etika. Proses pendidi-kan menurut Herbart sebaiknya berlangsung dalam lima tahap: persiapan, presentasi, asosiasi, sistematisasi, dan aplikasi. Proses ini juga berlaku untuk pendidikan guru; se-tiap guru perlu mampu menjawab pertanyaan: Apa yang telah diketahui oleh siswa? Pertanyaan apa yang seharusnya saya ajukan? Peristiwa apa yang harus saya kaitkan? Kesimpulan apa yang harus ditarik? Bagaimana siswa menerapkan apa yang telah mereka pelajari?

Herbert Spencer (1820-1903) adalah seorang teoritisi sosial Inggris yang men-coba menyesuaikan teori evolusi biologis dari Darwin dengan teori sosiologi dan pendidikan. Spencer berpendapat bahwa, manusia berkembang melalui serangkaian tahapan evolusi, mulai sederhana menjadi kompleks, dan seragam menjadi beragam. Masyarakat yang semula cenderung homogen, berkembang menjadi masyarakat yang kompleks yang ditandai dengan beragamnya tugas dan tanggungjawab yang menuntut keahlian yang sesuai. Karena itu, pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan bakat dan tuntutan lingkungan. Menurut pendapatnya, individu yang paling kuat dalam satu generasi akan selamat (survival of the fittest), oleh karena itu pendidikan yang dikembangkan manusia harus mampu bertahan hidup, mampu menguasai kegiatan secara efisien, dan mampu meningkatkan efektivitas kinerja dalam hidup.

John Dewey (1859-1952) dianggap sebagai Bapak Pendidikan Amerika Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan gagasan yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari Eropa. Menurut Dewey, pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut partisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusidalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang, melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Menurut Dewey metode reflektif (reflective method) adalah metode ilmiah yang berlangsung dengan langkah-langkah berikut: 1) pemelajar (learner) mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya dalam suatu kegiatan yang diminati; 2)berdasarkan pengalaman terse-but pemelajar mempunyai masalah khusus yang merangsang pemikirannya; 3) pemelajar mempunyai atau mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut; 4) pemelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahklan masalah; dan 5) pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, pemelajar akan menemukan sendiri keabsahan temuannya.

Ivan Illich (1926-1990) adalah seorang imam katolik yang semula bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New York. Ia merupakan kritikus pendidikan yang dianggap radikal. Sewaktu bertugas di Meksiko, dia meluncurkan pendapatnya tentang masyarakat bebas sekolah (deschooling society). Menurut pendapatnya, selama ini pendidikan di sekolah telah membelenggu perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar. Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak diluar sekolah dan tanpa arahan guru. Objek untuk pendidikan atau sumber untuk memper-oleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, workshop, galeri seni, dan lain-lain di mana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk belajar.

Paulo Freire[21] adalah seorang ahli pendidikan Brasil, dan pernah men-jabat sebagai Sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep pendidikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif. Menurut Freire, pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia, tujuan pendidikan adalah pembebasan yang permanen. Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap kesadaran akan penindasan; dan kedua, membangun kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu, semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas yang nyata dengan praktis baru.

Ki Hajar Dewantara (1889-1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal de-ngan filsafat pendidikannya "tut wuri handayani, hing madya mangun karsa, hing ngarso sung tulodo". Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah "tri-nga" (tiga "nga"-"nga" adalah huruf terakhir dalam abjad jawa ajisaka). "Nga" pertama adalah "ngerti" (memahami atau aspek intelektual), "nga" kedua "ngrasa" (merasakan atau aspek afeksi), dan "nga" ketiga adalah "nglakoni" (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan ini telah dilakukan sekitar 20 tahun sebelum Bloom dan kawan-kawannya merumuskan taksonomi tujuan pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Menurut Dwantara, adalah hak tiap orang mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran, dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal mitu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.

Mohammad Syafei (1896-1969) seorang tokoh pendidikan yang mendirikan Sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendi-dikan untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa per-caya diri dan bertanggung jawab. Menurut Syafei, masyarakatlah yang menilai lulu-san dan memberikan "ijazah" atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan peme-rintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan.

Teori, konsep, dan prinsip pendidikan yang telah diungkapkan diatas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang telah ada sejak ratusan tahun sebelum Masehi, yang sampai sekarang belum terpecahkan.[22] Hal inilah yang merupa-kan lahan untuk tumbuhnya pemikiran dan gerakan baru dalam dunia pendidikan. Perkembangan realitas masyarakat yang syarat dengan problematika harus diselesaikan dengan kacamata pendidikan terutama dengan teknologi pendidikan.

3. Perkembangan Teknologi

Menurut Iskandar Alisyahbana (1980) teknologi sudah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu, karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur, dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban, sebenarnya telah ada tekno-logi, meskipun istilah teknologi belum digunakan. Istilah "teknologo" berasal dari "techne" atau cara dan "logos" atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah tekknologi dapat diartikan dengan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah "cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra, dan otak manusia.

Beberapa ahli lain berpaendapat sebagai berikut: Jaques Ellul[23] memberi arti teknologi sebagai "keseluruhan metode yang secara yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia." Sedangkan Baiquni (1979:49) mengartikan teknologi sebagai "hasil penerapan sistematik dari sains, yang merupakan himpunan rasionalitas insani kolektif, untuk memanfaatkan hidup dan mengendalikan gejala-gejala didalam proses produktif yang ekonomis".

AECT dalam buku The Definition of Educational Technology (1977) mengu-tip pendapat Hoban yang menyatakan bahwa, "teknologi bukanlah sekadar mesin dan orang. Teknologi merupakan perpaduan yang kompleks dari organisasi manusia dan mesin, ide, prosedur, dan pengelolaan." Sedangkan Finn dikutip dengan pernyataan-nya bahwa, "teknologi mencakup proses, sistem, pengelolaan, dan mekanisme kontrol, baik yang mengangkut manusia maupun bukan manusia, dan lebih dari itu adalah merupakan suatu cara memandang permasalahan ditnjau dari sudut kepenti-ngan, kesulitan, kelayakan teknis pemecahannya, dan nilai ekonomi".

Teknologi merupakan sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu. Ia merupakan perpanjangan dari kemampuan manusia. Ia dapat kita pakai untuk menambah kemampuan kita menyajikan pesan, memproduksi barang lebih cepat dan lebih banyak, memberikan berbagai macam kemudahan, serta untuk mengelola proses maupun orang.

Teknologi dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama dan yang la-zim kita kenal adalah teknologi fisik atau mekanik yang ditandai oleh mesin, alat, dan perangkatnya. Yang kedua kurang sekali dikenal sebagai teknologi, yaiu teknologi so-sial yang merupakan tatanan atau acuan yang ditetapkan oleh orang lain dalam meng-organisasikan manusia dan lingkungannya, serta hal-hal yang mengatur tugas, fungsi, wewenang, dan kekuasaan.

Teknologi tidak mengandung nilai dalam dirinya sendiri; semuanya tergantung bagaimana manusia merancangnya, memanfaatkannya, dan menerimanya. Teknologi yang berhasil memperingan kerja badan manusia, di lain pihak dapat menyebabkan pengangguran dan kejemuan kerja. Teknologi kedokteran yang berhasil mengurangi angka kematian serta memperpanjang usia manusia, dapat menyebabkan kesulitan mencari makan dan timbulnya kesulitan hidup pada usia lanjut.

Teknologi, karena sifatnya, mencampuri (mengintervensi) urusan manusia de-nagan lingkunganya, serta secara konseptual mencampuri peranan orang dalam dunianya. Keberhasilan atau kegagalan orang dalam dunia yang digelutinya dapat disebabkan oleh teknologi yang dipakai atau dihadapinya. Jadi, nilai segala bentuk teknologi tergantung pada kegunaannya bagi umat manusia serta akibatnya bagi diri dan lingkungannya.

Dengan mengambil analogi dari bidang industri barang dan jasa, dapat kita ketahui bahwa pwenerapan teknologi telah memungkinkan produksi lebih banyak, dengan kualitas yang lebih baik, dan biaya satuan produksi yang lebih rendah. Namun hal itu dicapai secara kolektif (tidak individual), dengan adanya pembagian tanggung jawab, diversifikasi peranan, perencanaan yang cermat, yang semuanya mengacu pada totalitas produksi yang lebih ekonomis. Memang perkembangan itu juga membawa korban dengan digantikannya tenaga kerja manusia yang kurang efisien dengan mesin. Namun perlu diingat bahwa tenaga kerja yang digantikan itu adalah yang kurang serasi dengan keseluruhan proses produksi dan yang secara ekonomis kurang bermanfaat untuk dilatih ulang.

Teknologi memang belum dapat kita manfaatkan sedemikian rupa sehingga ti mbul penemuan sosial (social invention), meskipun teknologi itu telah menghasilkan perubahan sosial. Dengan demikian, teknologi itu tidak dapat dituntut tanggung jawabnya bila terjadi sesuatu akibat negatif; manusia pengembang dan pengguna tek-nologilah yang harus bertanggung jawab.

4. Perkembangan Awal Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan sebagai suatu disiplin keilmuan, pada awalnya berkembang sebagai bidang kajian di Amerika Serikat. Meskipun demikian menurut beberapa penulis Amerika Serikat diakui bahawa para pendahulu atau nenek moyang (forefathers) teknologi pendidikan kebanyakan berasal dairi luar Amerika Serikat.

Kalau kita berpegangan kepada konsep teknologi sebagai cara, maka awal per-kembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban, dimana orang tua mendidik anaknya dengan cara memberi pengalaman langsung serta dengan memanfaatkan lingkungan. Saettler berpendapat bahwa sumber tumbuhnya teknologi pendidikan dapat ditelusuri sampai kaum sufi, dengan cara mereka "menjajakan pengetahuannya". Bahkan menurutnya cara dialog seperti dilakukan sokrates sampai sekarang masih digunakan sebagai metode pemecahan masalah (problem-solving method).[24]

Secara eksplisit Saettler menganggap bahwa Komensky merupakan pionir teknologi pendidikan dengan pendapat perlunya visualisasi dalam pengajaran, yang tertuang dalam bukunya, Orbis Sensalium Pictus. Demikian juga dengan Rousseau, Pestalozzi, Froebel yang menekankan perlunya rangsangan indra untuk meningkatkan efektivitas belajar. Prosedur pengajaran yang dinyatakan oleh Herbart, juga dapat dikatakan sebagai awal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai desain pembelajaran

Pemuka pendidikan lain juga dapat dianggap memberikan kontribusi tumbuh-nya teknologi pendidikan, seperti misalnya heterogenitas pemelajar yang perlu dilayani dengan program pendidikan yang sesuai (sekarang berkembang menjadi belajar individual dan bebas), cara belajar aktif, belajar dari lingkungan (sekarang dikembangkan menjadi belajar berbasis aneka sumber), kebebasan dalam belajar (sekarang menjadi belajar terbuka), belajar memecahkan masalah (sekarang berkembang menjadi belajar berbasis masalah), serta adanya partisipasi dari warga masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Gerakan untuk mengembangkan teknologi pendidikan sebagai bidang kajian di Amerika Serikat dimotori oleh James D. Finn (1915-1969), seorang Guru Besar Tetap dalam bidang pendidikan di University of Southern California (USC), dan Guru Besar Tamu di Michigan State dan Syracuse University. Finn dianggap sebagai "bapak" teknologi pendidikan. Karya-karya terpilihnya sejak tahun 1949 hingga 1969 dihimpun oleh Ronald J. McBeath dalam buku Extending Education Trhrough Technology – suatu referensi klasik yang diterbitkan oleh AECT pada tahun 1972.

Pembahasan dalam makalah ini merupakan rangkuman dari pendapat James D. Finn yng dihimpun oleh Ronald J. McBeath, buku Paul Saettler The History of Educational Technology (1968), laporan hasil kajian tim AECT untuk perumusan de-finisi teknologi pendidikan yang dipimpin oleh Dr. Kenneth H. Silber yang diterbit-kan oleh AECT, Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field (1994) dan ditulis oleh Barbara B. Seels dan Rita c. Richey sebagai hasil rumusan dari Komisi Definisi dan terminologi AECT, serta tulisan Alan Januszewski dalam buku-nya, Educational Technology – The Development of a Concept (2001).[25]

Menurut Finn tahun, 1920-an adalah awal perkembangan teknologi pendidi-kan. Istilah dan definisi formal pertama yang berhubungan dengan teknologi pendidi-kan pada saat itu adalah "pengajaran visual". Yang dimaksud pengajaran visual adalah kegiatan mengajar dengan alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek, atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi kepada siswa. Tujuan penggunaan alat bantu visual adalah untuk: 1) memperkenalkan, menyusun, memperkaya atau memperjelas konsep-konsep yang abstrak; 2) mengembangkan sikap yang diinginkan; dan 3) mendorong timbulnya ke-giatan siswa lebih lanjut. Alat bantu visual umumnya diklasifikasikan mulai dari ting-ka kekonkretannya sampai dengan tingkat yang makin abstrak.

Aliran pengajaran visual, disamping berusaha membuat konkret konsep yang abstrak, juga menambahkan dua gagasan tambahan yang masih bermanfaat hingga sekarang. Yang pertama adalah gagasan untuk mengklasifikasikan jenis alat-alat bantu visual, dan yang kedua menekankan pentingnya pengintegrasian bahan visual kedalam kurikulum, dan bukannya dipakai secara terpisah-pisah.

Kelemahan aliran tersebut adalah karena hanya mengutamakan bahan itu sendiri, dan kurang memperhatikan desain, pengembangan, produksi, evaluasi, dan pegelolaan bahan itu. Kegiatan-kegiatan tersebut bukannya tidak dipertimbangkan, melainkan dianggap kurang penting, karena perhatian dipusatkan kepada bahan itu sendiri. Kelemahan lain adalah adanya anggapan bahwa bahan visual merupakan "alat bantu" dan bukan merupakan suatu yang mampu membawakan unit ajaran itu sendiri.

Dengan timbulnya rekaman suara dan film bersuara, aliran pengajaran visual diperluas dengan menambahkan suara, sehingga berkembang menjadi pengajaran audiovisual yang merujuk pada beberapa macam perangkat keras yang dipakai guru untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman melalui mata dan telinga. Sekalipun pembelajaran audiovisual menambahkan komponen audio kedalam aliran pengajaran visual, namun penambahan konseptual hanya sedikit. Aliran ini tetap mempertahan-kan rentangan (continuum) abstra-konkret (dengan bahan audiovisual pada ujung yang lebih konkret) serta mengklasifikasikan jenis pengalaman. Penuangan konsep yang paling nyata terdapat dalam Cone of Experience (kerucut Pengalaman) oleh Edgar Dale pada tahun 1954. Aliran ini juga masih menekankan bahwa audiovisual perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum.

Aliran pengajaran audiovisual juga masih mengandung dua kelemahan yang terdapat pada aliran yang mendasarinya, yaitu lebih menaruh perhatian kepada bahan daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap memandang bahan audiovisual sebagai alat bantu guru dalam pengajaran. Meskipun demikian, penelitian tentang efektivitas bahan audiovisual serta jenis bahan mana yang paling efektif untuk keperluan pengajaran mulai banyak dilakukan.

Pada akhir perang dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dalam bidang audiovisual ke arah dua kerangka konseptual baru yang paralel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem awal. Orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi, mengubah kerangka teori bidang itu. Perhatian tidak lagi dipusatkan kepada "benda-benda", melainkan kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber (baik itu guru maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (si-pelajar).

Sementara transisi dari pengajaran audiovisual ke komunikasi berlangsung, secara paralel berlangsung pula transisi lain yang terpisah namun ada kaitannya, yaitu perkembangan ke konsep sistem awal. Suatu sistem dapat didefinisikan sebagai rangkaian komponen-komponen yang mempunyai tujuan tertentu. Arti penting dari sistem adalah pengertian adanya: a) komponen-komponen dalam sistem; b) integrasi komponen-komponen itu; dan c) penigkatan efisiensi sistem. Konsep sistem dalam teknologi pendidikan menganggap sistem sebagai produk yang lengkap, tersusun, dan terintegrasi sedemikian rupa hingga memungkinkan terjadinya pembelajaran.

Usaha untuk merumuskan definisi teknologi pendidikan secara terorganisasi-kan dimulai pada tahun 1960. Hingga sekarang definisi teknologi pendidikan telah berkembang lima kali. Pengembangan definisi pertama dilakukan oleh the Technolo-gical Development Project dari The National Education Assosiation dengan ketua tim Prof. Dr. Donald P.Ely. Pada tahun 1963 disahkan definisi yang pertama sebagai berikut:

Komunikasi audiovisual adalah cabang teori dan praktik pendidikan, khususnya yang berkepentingan dengan rancangan dan pemanfaatan pesan yang mengendalikan proses belajar. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, seleksi, pengelolaan dan pemanfaatan komponen-komponen sistem dan seluruh sistem instruksional. Tujuan praktisnya, yaitu efisiensi pemanfaatan setiap metode dan media komunikasi yang dapat menyumbang pengembangan potensi si-belajar secara penuh.

Definisi ini merupakan suatu perubahan penting dalam paradigma atau pola berpikir dalam teknologi pendidikan, yaitu dari penekanan pada bahan audiovisual sebagai alat bantu yang memberikan pengalaman konkret, ke arah penekanan pada proses komunikasi untuk keperluan belajar, dan pemanfaatan sistem instruksional yang lengkap, dan pengembangan potensi pemelajar secara optimal. Definisi ini juga memicu perubahan nama dari Department of Audio Visual Instruction (DAVI) menjadi the Association for Educational Communication and Technology (AECT).

Dengan berubahnya kerangka teori secara menyeluruh, definisi ini beserta teori serta model yang mendukungnya, telah menghasilkan konsep baru teknologi pendidikan yang penting artinya bagi definisi yang berlaku sekarang. Orientasi bidang ini yang semula terletak pada "benda, indra, dan wujud konkret", digantikan dengan konsep proses. Menurut Donald P.Ely, konsep proses menentukan saling hubungan antara peristiwa sebagai sesuatu yang dinamis dan berkelanjutan. Semua unsur dalam proses saling berinteraksi dan saling memengaruhi. Oleh karena itu, komunikasi audiovisual telah mensintesiskan konsep-konsep komunikasi, sistem, unsur-unsur atau komponen sistem, dan rancangan sistem.

Model komunikasi audiovisual ini menekankan bahwa si-belajar merupakan bagian integral dari proses teknologi pendidikan, dan dengan membawa konsep dari teori belajar ke dalam model komunikasi unsur yang berupa respons dari si-belajar serta evaluasi dari respons tersebut. Model ini mengidentifikasikan dan mendefinisikan komponen-komponen khusus, dan tidak sekedar menyebutkan adanya komponen itu dalam sistem instruksional.

Meskipun definisi ini menggambarkan suatu perubahan paradigma yang penting bagi teknologi pendidikan, dan mensintesiskan bagian terbesar dari konsep-konsep yang berasal dari orientasi sebelumnya, serta memperkenalkan banyak konsep baru di bidang itu, namun bukan tanpa kelemahan. Kelemahan yang paling nyata terletak pada penggunaan nama untuk bidang itu yang tidak konsisten. Definisi memakai istilah "audiovisual communications","au-diovisual", "educational communications", dan"instructional technology" silih berganti. Ini menyebabkan timbulnya keragu-raguan akan nama yang sesungguhnya dari bidang yang bersangkutan.

Definisi komunikasi audiovisual ini kemudian berkembang dengan menggunakan acuan Pendekatan Sistem dan Pengembangan instruksional. Usaha kedua untuk mendefinisi-kan teknologi pendidikan dilakukan oleh the Commision on Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney Tickton pada tahun 1970. Definisi teknologi instruksional yang dirumuskan adalah:

Teknologi instruksional adalah suatu cara yang sistematik untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan khusus komunikasi dan belajar pada manusia, serta dengan mempergunakan kombinasi sumber belajar insani dan non-insani, agar terjadi pembelajaran yang lebih efektif.

Meskipun laporan yang disusun oleh komisi tersebut diatas dikritik secara luas, namun laporan itu mengandung banyak konsep yang serasi dengan definisi yang berkembang kemudian. Yaitu di antaranya:[26]

Ø Ditekankannya bahwa teknologi pendidikan sebagai proses, bukannya sebagai media atau peralatan; dengan demikian konsep dari teori komunikasi dan pembelajaran terprogram memperoleh dukungan.

Ø Ditegaskannya bahwa teknologi pendidikan menggunakan konsep dan pendekatan sistem dalam pembelajaran, dan hal ini berarti lebih mementingkan proses daripada produk. Konsep itu menuntut adanya dampak "sinergestik", yaitu adanya nilai tambah yang timbul sebagai akibat penggabungan segala fungsi dan sumber kedalam proses yang sistematik.

Ø Dipaandangnya teknologi pendidikan sebagai pemanfaatan sumber-sumber ma-nusiawi dan nonmanusiawi. Dengan demikian, ditegaskan bahwa orang merupa-kan bagian dalam teknologi pendidikan.

Ø Dianggapnya produk teknologi pendidikan sebagai sumber-sumber yang dapat digunakan untuk memperbaiki pengajaran. Laporan ini yang pertama kali menggunakan istilah "sumber belajar" untuk menunjukkan produk teknologi pendidikan.

Ø Ditunjukkannya bahwa teknologi pendidikan berlandaskan pada teori belajar dan komunikasi.

Definisi kedua ini belum dianggap lengkap, sehingga pada tahun 1972 Komisi Definisi dan Terminologi AECT mengelurkan definisi baru yang ketiga.

Teknologi pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia, melalui usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut.

Definisi ketiga ini menunjukkan hal-hal baru/berbeda, seperti:teknologi pendidi-kan sebagai suatu bidang; proses memfasilitasi belajar dan bukan kendali belajar; dan penggunaan nama/istilah teknologi pendidikan. Namun karena dianggap tidak memberi-kan ketetapan tentang teori dan profesi, maka dilakukan usaha perbaikan selanjutnya.

Pada tahun 1975 AECT membentuk Komisi Definisi dan Terminologi yang di-pimpin oleh Dr. Kenneth H. Silber dengan anggota sebanyak 26 orang. Laporan komisi ini diterbitkan oleh AECT, "The Definition of Educational Technology" pada tahun 1977. (terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 1986).

Definisi tahun 1977 yang merupakan definisi keempat, meliputi 16 bagian yang diharapkan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang saling berkaitan, sebab satu bagian saja tidak akan dapat memberikan penjelasan yang memadai. Definisi tersebut sebagai berikut:

Teknologi pendidikan adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia. Pemecahan masalah terjelma dalam bentuk sumber belajar yang dirancang, dipilh dan/atau digunakan untuk keperluan belajar, dan yang terdiri dari pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan latar (lingkungan). Proses analisis masalah merupakan fungsi pengembangan pendidikan dalam bentuk riset/teori, desain, produksi, evaluasi-seleksi, logistik, pemanfaatan, dan penyebarluasan. Proses pengarahan dan koordinasi merupakan fungsi pengelolaan pendidikan yang meliputi pengelolaan organisasi dan personel.

Beberapa dari keenam belas bagian tersebut adalah:

Ø Istilah "teknologi pendidikan" dibedakan dengan "teknologi instruksional"; yang terakhir merupakan bagian dari yang pertama. Teknologi instruksional berkepentingan dengan kegiatan belajar yang bertujuan dan terkendali. Proses pemecahan masalah merupakan komponen sistem intruksional.

Ø Teknologi pendidikan dapat membentuk teori karena adanya gejala khusus yang menjadi perhatian, orientasi, sistematika, identifikasi kesenjangan, yang melahirkan strategi baru melalui riset, prediksi, dan prinsip.

Ø Tekniologi pendidikan memiliki teknik inteletual yang unik dan tidak digunakan pada bidang lain, yaitu pendekatan yang sistematik yang menimbulkan efek sinergistik.

Ø Teknologi pendidikan merupakan suatu profesi dengan adanya pendidikan khusus, organisasi profesi, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya.

Ø Teknologi pendidikan beroperasi dalam konteks masyarakat yang lebih luas, dengan sikap kemandirian dan kebebasan intelektual, meniadakan hal-hal yang bersifat klise, dan berpihak pada kepentingan manusia dalam memenuhi tujuan hidup.

Ø Teknologi pendidikan bergerak dalam keseluruhan bidang pendidikan, dan mengusahakan terciptanya keseimbangan dan hubungan kerja sama yang selaras dengan berbagai profesi pemdidikan lain.

Definisi resmi AECT yang keempat ini masih dianggap mempunyai kelemahan, diantara-nya: tidak adanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan proses komplek dan terpadu; keraguan dalam merumuskan definisi hingga harus dinyatakannya dalam 16 bagian; penggunaan istilah pendidikan yang meluas sehingga dapat merambah objek formal ilmu pendidikan, yaitu "pribadi"; penjelasan tentang pendidikan yang lebih banyak mengarah pada proses pendidikan di sekolah; dan keraguan tentang status keilmuannya yang menyatakan "dapat membentuk teori"; dan tidak adanya ketentuan bahwa semua komponen harus dikelola dan diawasi agar sistem itu beroperasi secara efktif dan efisien. Hal-hal ini semua mempersulit pengakuan dan komunikasi dengan bidang kajian atau di-siplin keilmuan lain.

AECT membentuk suatu Komisi Definisi dan terminologi pada tahun 1990 yang dipimpin oleh Barbara B. Seels, dengan 21 orang anggota. Setelah bekerja selama tiga tahun, komisi ini merumuskan definisi dan terminologi baru yang merupakan definisi keempat. Laporan komisi diterbitkan dalam buku Instrucksional Technologi: the Definition and Domains of the Field (1994), dengan penulis akhir Barabara B. Seels dan Rita C Richey. Terjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia di terbitkan oleh Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) sebagai Seri Pustaka Teknnologi Pendidikan 12 Pada tahun 2000. definisi kelima pada tahun 1994 adalah sebagai berikut:

Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian proses dan sumber untuk belajar.

Komponen dalam definisi adalah:

Ø Teori dan praktik;

Ø Kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian;

Ø Proses dan sumber;

Ø Untuk keperluan belajar.

Setiap kawasan memberikan kontribusi kepada pengembangan teori dan praktik yang menjadi landasan keilmuan, dan sebaliknya teori dan praktik juga dijadikan pegangan dalam pengembangan kawasan. Tiap kawasan tersebut berdiri sendiri, meskipun saling berkaitan sebagai sesuatu kegiatan yang sistematik.

Untuk sementara ini pengembangan definisi dan terminologi sudah dianggap cukup karena telah menunjukkan adanya teori yang digunakan dan dikembangkan, sebagai prasyarat untuk setiap disiplin keilmuan, dan perlunya profesi dalam mempraktikkan proses pada setiap kawasan; dan fokus kepada kepentingan setiap orang untuk belajar.

Arah pertumbuhan teknologi instruksional menurut Finn sesuai dengan teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan dari masyarakat tradisional ke kebudayaan teknologi tinggi, yaitu:

1.Masyarakat tradisional – ilmu dan teknologi tidak tersedia, atau tidak secara teratur dan sistematik diterapkan;

2.Prakondisi untuk tinggal landas – ada perubahan psikologis dan politis di masyarakat, yang menyebabkan orang dan lembaga bersedia menerima teknologi, dan pada saat mana telah terbentuk modal dasar masyarakat yang diperlukan;

3.Tinggal landas – masa kritis prakondisi tercapai, dan beberapa inovasi teknologi yang berlangsung bertindak sebagai stimulus untuk berpikir teknologis;

4.Beranjak dewasa – dipergunakannya proses teknologi yang lebih canggih dan rumit, sementara itu investasi masyarakat dalam peranti (tools) sebanyak 10-20%;dan

5.Konsumsi masa yang tinggi – masyarakat menerapkan proses dan sumber teknologi di mana saja untuk setiap kesempatan.

Kembali pada Segitiga Acuan dari Ogden dan Ricard yang telah ditampilkan di muka, dapatlah disimpulkan bahwa:

1. Istilah yang digunakan Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran.

2. Gagasannya adalah agar setiap orang mampu mengembangkan diri scara optimal dengan memperoleh kesempatan belajar melalui berbagai proses dan sumber.

3. Dengan rujukan:

Ø Proses yang sistemik dan sistematik;

Ø Aneka sumber yang dikembangkan dan/atau digunakan untuk belajar;

Ø Bertolak dari berbagai teori yang relevan dan kenyataan empiris;

Ø Adanya nilai tambah dalam mencapai tujuan kegiatan;

Ø Bersifat I novatif karena harus menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan.

5. Perkembangan di Indonesia

Perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia boleh dikatakan mengikutu perkembangan yang ada di Amerika Serikat. Sperti halnya yang terjadi di AS, perkembangan tersebut dapat dikatakan dimulai dengan digunakannya media atau alat peraga untuk menunjang kegiatan pengajaran. Bedanya adalah kalau di Amerika dengan demokrasi liberalnya memungkinkan tumbuhnya pemikiran dan tindakan oleh masyarakat, maka di Indonesia dengan demokrasi terpimpinnya mengharuskan restu pemerintah untuk mengembangkan pemikiran dan kegiatan.

Pada tahun 1951 diselenggarakan "school broadcasting" sebagai suatu usaha perin-tisan meliputi daerah Jakarta, Bandung, Bogor, dan Cirebon. Pada saat itu dibentuk paniyia school broadcasting yang diketuai oleh Sadarjon Siswomartojo (Kepala Djawatan Pendidikan Masjarakat Kementerian PPK), dengan sekretaris dari RRI, dan anggota yang mewakili AD, AURI, ALRI, Kepala Jawatan Pengajaran, Inspektur Jenderal Pengajaran, dan Kepala Bagian Penerangan Kementerian PPK. Bertindak sebagai pelindung dan penasihat panitia ini adalah Commodore Soerjadarma (Kepala Staff AURI).

Pada tahun 1955 didirikan BKTPG (Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru) di Bandung, suatu lembaga yang bertugas menyelenggarakan kursus tertulis bagi calon guru SD guna menyongsong program perluasan kesempatan belajar yang lebih berkualitas. Lembaga ini telah berkembang fungsinya, dan setelah mengalami masa pasang surut, sekarang ini menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis. Pada saat yang hampir bersamaan (tidak diperoleh data yang pasti) telah didirikan TAC (teaching aids center = Balai Alat Perga Pendidikan) di Bandung dengan cabang antara lain di Malang. Lembaga ini bertugas memproduksi dan menoordinasikan ketersediaan alat peraga pengajaran untuk sekolah-sekolah.

Suatu kebijakan berskala nasional sebenarnya sudah ditetapkan dalam REPELITA I. dalam rumusan program pembangunan pendidikan ditetapkan untuk "…digunakan media massa: radio dan televisi untuk peningkatan mutu sekolah dasar…" (RI, 1970:361). Rumusan kebijakan itu memang berorientasikan pada media, namun tindakan yang dilakukan kemudian mengarah pada pengertian sistem karena diperlukannya mengkaji semua komponen yang berkaitan, termasuk sumber daya manusianya. Pada tahun 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kebijakan untuk mengembangkan siaran pendidikan secara bertahap melalui perintisan. Perintisan kemudian dilaksanakan di tiga daerah, dan kemudian setelah dinilai berhasil, dikembangkan di 11 provinsi.

Pengembangan media massa untuk pendidikan selanjutnya, ternyata kurang mendapat perhatian kebijakan dalam pembangunan pendidikan lebih lanjut. Pada tahun 1974, Presiden Suharto sebenarnya telah mencanangkan penggunaan satelit komunikasi domestik untuk penyebaran pendidikan. Tetapi, pernyataan kebijakan presiden ini tidak mendapat tanggapan konkret. Yang tumbuh dan berkembang hingga sekarang adalah pendidikan tenaga ahli teknologi pendidikan dan pengemba-ngan sistem serta strategi pembelajaran yang bersifat inovatif. Pada tahun 1973 dalam rangka kerja sama INNOTECH mulai diuji coba suatu sistem instruksional nontradisional yang dikenal sebagai SD PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru). Dalam sistem ini dikembangkan dan digunakan bahan belajar berupa modul cetakan untuk keperluan belajar mandiri, belajar kelompok dengan tutorial sebaya, dan pendayagunaan narasumber yang ada di lingkungan.

Rapat koordinasi teras Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggariskan kebijakan pengembangan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1975 sebagai berikut:

Ø Kegiatan harus bertolak dari kebijakan pendidikan yang sudah ada;

Ø Rencana kegiatan dikembangkan dari hasil analisis kebutuhan;

Ø Diprioritaskan program pemerataan mutu pendidikan;

Ø Dalam mengadakan pembaruan di sekolah harus dimulai dari titik pangkal strate-gis, yaitu guru;

Ø Media yang dikembangkan dan digunakan harus telah terbukti efektif;

Ø Dibentuknya unit kerja yang akan menangani dan memanfaatkan teknologi komunikasi untuik mpendidikan dan kebudayaan;

Ø Pengembangan tenaga melalui latihan dalam berbagai aspek teknologi pendidikan;

Ø Pengembangan program teknologi pendidikan pada perguruan tinggi.

Pendidikan keahlian teknologi pendidikan dimulai pada tahun 1976 pada jenjang S1 dan tahun 1978 pada jenjang S2 dan S3. Mayoritas dosen yang mengajar didatangkan dari AS melalui bantuan teknis dari USAID. Kurikulum dan tenaga dosennya dikoordinasikan oleh Syracuse University dalam suatu konsorsium UCIDT (University Consotium of Instructional Development and Technology). Para dosen tersebut tentu saja membawa konsep-konsep yag berkembang di AS. Kecuali itu, sekitar 80 tenaga dosen Indonesia dalam kurun waktu lima tahun, yang dikirim ke luar negeri (AS, Inggris, Australia) sebagai inti untuk pengemba-ngan program teknologi pendidikan lebih lanjut.

Perkembangan konsep teknologi pendidikan tersebut diawali dengan adanya alat peraga yang digunakan oleh tiap-tiap guru secara individual dalam rangka kegiatan pengajarannya. Kemudian disediakannya berbagai media pengajaran oleh lembaga yang khusus mendapat tugas pembuatan dan penyediaan media (seperti yang telah dilakukan TAC). Para guru diharapkan menggunakan media yang tersedia sebagai bagian integral dari program belajar-mengajar. Perkembangan kemudian masih terbatas dalam lingkup pendidikan sekolah, namun teknologi pendidikan tak hanya berupa media, tapi juga berbagai strategi yang diperlukan agar siswa belajar aktif. Namun dengan pertimbangan bahwa belajar itu terjadi dimana saja, kapan saja, serta oleh siapa dan apa saja, maka konsep pendidikan di sekolah harus diperluas, hingga lingkungan luar sekolah, termasuk di lembaga masyarakat, lembaga pelatihan, lembaga kerja, lembaga ibadah, bahkan oleh pribadi. Sedang kegiatannya dapat berupa teknologi pembelajaran atau teknologi kinerja.

Oval: TEKNOLOGI PEMBELAJARAN&KINERJAPerkembangan konsep dan penerapan teknologi pendidikan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 2.2.

Oval: TEKNOLOGI PENDIDIKAN/ PEMBELAJARANOval: MEDIA PENGAJARANOval: PERAGAAN AJARAN (AV)

Gambar 2.2 Perkembangan Konsep dan Penerapan Teknologi Pendidikan/Pembelajaran.[27]

Konsep-konsep yang telah ditumbuhkan melalui program pendidikan dan penelitian, kemudian diadaptasi dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Meskipun demikian, gagasan dan rujukan yang terkandung dalam istilah teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran tetap dipertahankan, yaitu: agar setiap orang mampu mengembangkan diri secara optimal dengan memperoleh kesempatan belajar melalui berbagai proses dan sumber, dengan rujukan: Proses yang sistemik dan sistematik; Aneka sumber yang dikembangkan dan/atau digunakan untuk belajar; Bertolak dari berbagai teori yang relevan dan kenyataan empiris; Adanya nilai tambah dalam mencapai tujuan kegiatan; Bersifat inovatif karena harus menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan; dan ditambah dengan Pendekatan isomeristik yang menggabungkan berbagai pemikiran atau disiplin keilmuan.

Perkembangan terminologi dalam bidang teknologi pendidikan bahkan telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan. Istilah "pembelajaran" yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pemelajar (learner centered) untuk menggantikan istilah "pengajaran" yang teacher centered, mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, telah dipakai secara meluas, bahkan telah diakomodasikan dan bahkan dikuatkan dalam perundangan (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). Demikian pula istilah "sumber belajar", dan berbagai macam strategi pembelajaran.

Sistem dan strategi pembelajaran yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep universal dalam konteks Indonesia juga telah berkembang. Beberapa bentuk sistem dan strategi pembelajaran yang berkembang adalah:

Ø sistem SMP Terbuka dan Universitas Terbuka yang telah berkembang ke seluruh pelosok, dan merupakan bagian integral sistem pendidikan nasional;

Ø Berkembangnya bebagai strategi belajar dan pembelajaran yang inovatif seperti belajar berbasis masalah, belajar berbasis aneka sumber, pembelajaran elaboratif, pembelajaran koopertif, pembelajaran berbasis komputer, pembelajaran melalui televisi siaran (TV Edukasi), dan lain-lain.

Jelasalah, bahwa konsep teknologi pendidikan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun ibarat tanaman yang telah tumbuh dan berkembang, tetapi tidak dirawat, dipupuk, dan diremajakan, maka tanaman itu akan dapat mati, demikian pula konsep. Terserah kepada mereka yang merasa dirinya sebagai teknolog pendidikan/pembelajaran untuk mempunyai komitmen dalam merawat, memupuk, dan meremajakan konsep dan penerapannya.

BAB VI

Belajar Mandiri

A. Pokok Bahasan

Pengertian, konsep, model belajar mandiri, peran guru dalam belajar mandiri

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan belajar mandiri baik konsep dan model

2. Mahasiswa dapat menjelaskan belajar jarak jauh, peran guru dalam belajar mandiri

C. Uraian Materi

Belajar mandiri merupakan salah satu model yang diterapkan di kelas konvensional. Proses belajar mandiri, memberi kesempatan para peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru. Mereka mengikuti kegiatan belajar dengan materi ajar yang sudah dirancang khusus sehingga masalah atau kesulitan sudah diantisipasi sebelumnya. Model belajar mandiri ini sangat bermanfaat, karena dianggap luwes, tidak mengikat, serta melatih kemandirian siswa agar tidak tergantung atas kehadiran atau uraian materi ajar dari guru.[28] Berdasarkan gagasan keluwesan dan kemandirian inilah belajar mandiri telah ber'metamorfosis' sedemikian rupa, di antaranya menjadi sistem belajar terbuka, belajar jarak jauh, dan e-learning. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain dan kenyataan di lapangan. Bab-bab setelah tulisan ini membahas masalah tersebut.

1. Model Belajar Mandiri

1. Sistem Belajar Terbuka (SBT)

Sistem belajar terbuka merupakan proses belajar mandiri yang dirancang tanpa mengindahkan prasyarat umum dan akademik, seperti batasan usia, pendidikan sebelumnya, seperti layaknya belajar di kelas konvensional. SBT sebagaimana halnya belajar mandiri, tidak memiliki jawal dan lokasi tertentu. Mengingat ciri-ciri tadi, maka SBT memungkinkan seseorang untuk belajar sesuai dengan ritme, gaya belajar, serta laju belajar sendiri. Tidak adanya pembatasan usia memungkinkan sendiri. Tidak adanya pembatasan usia memungkinkan kesempatan terbuka bagi siapa saja yang berminat. Lokasi belajar dapat ditentukan sendiri oleh siswa.

Daengan demikian seorang siswa dapat dengan leluasa belajar tanpa terganggu atau mengganggu (siswa) orang lain (Malone, 1997:&Dorell,1993:[29]). Namun, SBT memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:

Belajar mandiri: Pilihan PBM di kelas




Sekolah tanpa gedung: tidak ada jadwal, jumlah siswa lebih banyak (sekolah)

Belajar terbuka:

Belajar Terbuka (open learning): Belajar Jarak Jauh (distance

Pendidikan untuk orang dewasa learning):

Di lembaga/organization Menggunakan jasa telekomunikasi

Inovasi belajar Terbuka




Text Box: Konsep dasar : Belajar di organisasi Belajar berasas Flexibel Learning BJJ (Generasi ke 3)

sumber(resource-based

e- learning: internet

Based learning)

> Diperlukan "kedewasaan" sikap siswa/peserta didik dalam proses belajar untuk menghadapi kendala dan menentukan pemecahan sendiri.

> Tidak terjadi proses sosialisasi menyebabkan SBT dijauhi oleh siswa usia tertentu. Peserta didik merasa tidak mempunyai teman sekelas atau seangkatan.

> Adanya keterlambatan respons (delayed feedback) atas kesulitan belajar, sedangkan dalam kelas konvensional guru segera menanggapinya.

> Di Indonesia, masyarakat masih percaya bahwa proses belajar berikut kehadiran guru adalah proses belajar yang sebenarnya.

Inggris merupakan suatu negara yang menerapkan sistem belajar terbuka, mulai dari belajar terbuka dengan korespondensi (jasa pos) sampai dengan penggunaan teknologi canggih (e-mail). Jenjang pendidikan yang dapat ditempuh mulai dari kursus-kursus tertentu (pada perusahaan besar) sampai dengan program gelar S3. negara ini menyediakan program belajar mandiri sebagai salah satu pilihan masyarakatnya.

2. Belajar Jarak Jauh (BJJ)

Arti sebenarnya BJJ adalah antara siswa dan penyaji materi terpisah oleh jarak, sehingga perlu ada upaya tertentu untuk mengatasinya. Bagi Malone, 1997, BJJ berlangsung ketika penyaji dan peserta didik mempelajari materi ajar yang sudah dirancang khusus untuk itu. Malone menyatakan bahwa BJJ sudah berevolusi. Generasi Pertama BJJ adalah correspondence learning. Materi ajar dikirimkan melalui jasa pos. generasi Kedua BJJ ditandai dengan penggunaan media audiovisual dan program pelatihan berasas komputer (computer-based training or CBT), berikut program tutorial terjadwal. Sedangkan generasi ketiga BJJ sudah menggunakan jasa telekomunikasi. Sudah tentu produk teknologi canggih seperti mesin faks, teleconference (melalui satelit), atau e-mail sudah digunakan. Mengatasi masalah komunikasi belajar seperti delayed feedback merupakan alasan penggunaan jasa telekomunikasi. Akhir-akhir ini, semakin jelas terlihat penggunaan jasa satelit mendorong pengembangan model e-learning.

3. Belajar Mandiridi Organisasi: Flexibel Learning dan Belajar Berasas Sumber (Resource-based Learning)

Selain SBT dan BJJ, istilah flexibel learning juga diperkenalkan oleh Malone. Ia menyatakan baik SBT maupun BJJ dapat disebut sebagai flexibel learning. Keduanya mengandung aspek keluwesan (flexibel). Dorell menambahkan bahwa flexibel learning adalah proses belajar yang memanfaatkan semua sumber belajar yang tersedia, sebagaimana dibutuhkan oleh peserta didik. Untuk mendukung kelancaran proses belajar, Dorrell menganggap bahwa segala sumber belajar berikut SDM harus tersedia dan bekerja bersama-sama sebagai satu sistem. Bagi kemudahan pemanfaatan sumber belajar tersebut, maka diperlukan pelembagaan dan pengelolaan sumber belajar yang sebaik-baiknya.

Organisasi tertentu (terutama profi-oriented) di Inggris mewujudkan kesempatan belajar bagi semua pegawainya dengan mendirikan pusat sumber belajar. Upaya ini berkembang menjadi suatu model belajar mandiri yang disebut resource-based learning (R-b L) atau belajar berasas sumber (BAS). Siapa pun dapat belajar disana, kapan saja, apa saja, atau dengan siapa saja; tanpa mengganggu jadwal kerja atau kegiatan bisnis lainnya. BAS menjamin seluruh kebutuhan belajar dapat dipenhi oleh lembaga tadi. Karyawan atau pegawai menganggap bahwa belajar telah menjadi bagian pekerjaan mereka.

Peran guru/instruktur

Proses belajar mandiri mengubah peran guru atau instrutur , menjadi fasilitator, atau perancang proses belajar. Sebagai fasilitator, seorang guru atau instruktur membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, atau ia dapat menjadi mitra belajar untuk materi tertentu pada progam tutorial. Tugas perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi kedalam format sesuai dengan pola belajar mandiri (lihat uraian materi ajar).

Materi Ajar

Seluruh model belajar mandiri seperti tersebutr tadi, menggunakan materi ajar yang telah dirancang khusus untuk itu. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh materi ajar ini adalah:[30]

Ø Kejelasan rumusan tujuan belajar (umum dan khusus)

Ø Materi ajar dikembangkan setahap demi setahap, dikemas mengikuti alur desain pesan, seperti keseimbangan pesan verbal dan visual, clues: warna, garis, alur, dan seterusnya.

Ø Materi ajar merupakan sistem pembelajaran lengkap, yaitu ada rumusan tujuan belajar, materi ajar, contoh/bukan contoh, evaluasi penguasaan materi, petunjuk belajar dan rujukan bacaan. Jika diperlukan, cantumkan pula sumber-sumber belajar yang mendukung.

Ø Materi ajar dapat disampaikan kepada siswa melalui media cetak, atau komputerisasi seperti CBT, CD-ROM, atau program audio/video.

Ø Materi ajar itu sendiri dikirim dengan jasa pos, atau menggunakan teknologi canggih dengan internet (situs tertentu) dan e-mail; atau dengan cara lain yang dianggap mudah dan terjangkau oleh peserta didik.

Ø Penyampaian materi ajar dapat pula disertai program tutorial, yang diselenggarakan berdasarkan jadwal dan lokasi tertentu atau sesuai dengan kesepakatan para peserta didik.

Sekarang, toko-toko buku menjual bahan ajar cetak untuk belajar mandiri, dan paket belajar (kaset audio dan buku) untuk panduan belajar mandiri, misalnya bahasa inggris. Dengan demikian sebenarnya, setiap orang dapat melaksanakan sendiri proses belajarnya dengan cara membeli paket / bahan ajar.

BAB VII

Prospek dan Tantangan Teknologi Pendidikan di Era Global

A. Pokok Bahasan

Prospek dan tantangan teknologi pendidikan di era global baik secara konsep filosofis, profesi dan penerapannya

B. Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan prospek dan tantangan teknologi pendidikan di era global

2. Mahasiswa dapat menganalisa prospek dan tantangan teknologi pendidikan di era global baik secara konsep, profesi & penerapannya

3. Mahasiswa dapat membuat konsep jangka pendek, menengah, panjang teknologi pendidikan masa depan

C. Uraian Materi

1. Pendahuluan

Teknologi merupakan bagan integral dalam setisp budaya. Makin maju suatu budaya, makin banyak dan makin canggih teknologi yang digunakan. Meskipun demikian masih banyak di antara kita yang tidak menyadari akan hal itu. Daoed Joesoef dalam pidato pengarahnnya pada Rapat Koordinasi T.K.P.K. (sekarang Pustekkom) 6 Mei 1981 sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, menyatakan bahwa, "teknologi diterapkan di senua bidang kehidupan, di antaranya bidang pendidikan. Teknologi pendidikan ini karenanya beroperasi dalam seluruh bidang pendidikan secara integratif, yaitu secara rasional berkembang dan terjalin dalam berbagai bidang pendidikan." Pernyataan kebijakan itu merupakan penegasan dari penetapan kebijakan sebelumnya, yaitu pelemagaan dan peresmian gedung pusat T.K.P.K., serta peresmian dimulainya perintisan SMP terbuka pada tahun 1979.

Jadi telah hampir 22 tahun ada pernyataan kebijakan tentang peran dan posisi teknologi pendidikan sebagai bagian integral pendidikan. Bagaimana kenyataan sekarang, apakah pernyataan kebijakan itu masih berlaku? Apakah teknologi pendidikan telah benar menjadi bagian integral dari sistem pendidikan kita? Pernyataan ini merupakan tantangan eksternal dalam bidang teknologi pendidikan, yaitu berupa pengakuan atas keberadaan teknologi pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan. Masih cukup banyak pengambil keputusan pada berbagai lapis kebijakan serta para pendidik – baik akademisi maupun praktisi, yang masih belum mengakui bahkan menyanggah keberadaan teknologi pendidikan untuk membantu mengatasi masalah pendidikan pada umumnya dan belajar – pembelajaran pada khususnya. Salah satu contoh sanggahan itu adalah edaran Dirbinsarak Ditjen Dikti tanggal 24 Februari 1999 berisikan informasi dari Konsorsium Ilmu Pendidikan yang menyatakan bahwa, "teknologi pembelajaran adalah empty technology atau teknologi kosong". Selain tantangan dari luar tersebut, ada juga tanta-ngan dari dalam, yaitu tantangan untuk mengembangkan teknologi pendidikan sebagai profesi, bidang kajian dan garapan, serta tantangan untuk mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan IPTEK dan perkembangan kebutuhan pembangunan termasuk pembangunan manusia seutuhnya.[31]

Para teknolog pendidikan baik praktisi maupun akademisi yang mempunyai komitmen profesi harus berpikir dan bertindak proaktif untuk menjawab tantangan tersebut, dengan membuktikan dan mengembangkan teknologi pendidikan sehingga manfaatnya dapat dirasakan atau setidak-tidaknya diketahui oleh masyarakat luas.

2. Perkembangan Konsep Teknologi Pendidikan

Masih banyak terjadi kerancuan yang menganggap bahwa ciri uama teknologi pendidikan adalah adanya peralatan/sarana canggih dalam proses pendidikan. Teknologi pendidikan berbeda dengan "teknologi dalam pendidikan". Teknologi dalam pendidikan memang menuntut adanya sarana (telepon, faksimile, komputer, dan lain-lain) dalam kegiatan lembaga pendidikan. Teknologi pendidikan tidak menuntut adanya sarana tersebut, melainkan menekankan pada adanya proses untuk memperoleh nilai tambah.

Pengertian teknologi (semua teknologi termasuk teknologi pendidikan) secara umum adalah:

· Proses yang meningkatakan nilai tambah,

· Produk yang digunakan dan atau dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja;

· Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.

Teknologi memasak, misalnya, adalah proses untuk mengolah bahan mentah (sayuran, tahu, tempe, daging, garam, bumbu, dan lain-lain) dengan menggunakan produk berupa pisau, wajan, panci, kompor, dan sebagainya. Untuk menghasilkn produk berupa makanan, dan makanan itu sendiri merupakan komponen dari sistem kelangsungan hidup berupa gizi atau nutrisi, yang perlu dilengkapi dengan komponen lain seperti olahraga , istirahat, dan lain-lain.

Teknologi pendidikan telah berkembang sebagai suatu disiplin keilmuan ang berdiri sendiri. Perkembangan tersebut dilandasi oleh serangkaian dalil atau dasar yang dijadikan patokan pembenaran. Secara falsafi, dasar keilmuan itu meliputi: ontologi atau rumusan tentang gejala pengamatan yang dibatasi pada suatu pokok telaah khusus yang tidak tergarap oleh bidang telaah lain; epistemologi yaitu usaha atau prinsip inelektual untuk memperoleh kebenaan dalam pokok telaah yang ditentukan; dan aksiologi atau nilai-nilai yang menentukan kegunaan dari pokok telaah yang ditentukan, yang mempersoalkan nilai moral atau etika dan nilai seni dan keindahan atau estetika.[32]

Gejala yang merupakan landasan ontologi teknologi pendidikan adalah:

1.Adanya sejumlah besar orang yang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, baik yang diperoleh melalui suatu lembaga khusus, maupun yang dapat dipeoleh secara mandiri.

2.Adanya berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa, tetapi belum dapat dimanfaatkan untuk keprluan belajar.

3.Perlu adanya suatu usaha khusus yang terarah dan terencana untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap orang.

4.Perlu adanya pengelolaan atas kegiatan khusus dalam mengembangkan dan memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut secara efektif, efisien dan selaras.

Usaha khusus yang terarah dan terencana bukan sekadar menambah apa yang kurang, menambal apa yang berlubang, dan menjahit apa yang sobek. Menurut Banathy bukan hanya "doing more of the same", ataupun "doing it better of the same", melainkan "doing it differently" untuk menjamin hasil yang diharapkan (Banathy, 1991). Pendekatan yang berbeda itu adalah pendekatan yang memenuhi empat persyaratan, yaitu:

1.Pendekatan isomeristik, yaitu menggabungkan berbagai kajian/bidang keilmuan (psikologi, komunikasi, ekonomi, manajemen, rekayasa teknik, dan sebagainya) ke dalam suatu kebulatan tersendiri;

2.Pendekatan sistematik, yaitu dengan cara yang berurutan dan terarah dalam usaha memecahkan persoalan;

3.Pendekatan sinergistik, yaitu yang menjamin adanya nilai tambah dari keseluruhan kegiatan dibandingkan dengan bila kegiatan itu dijalankan sendiri-sendiri; dan

4.Sistemik, yaitu pengkajian secara menyeluruh.

Usaha khusus dengan pendekatan inilah yang merupakan asas epistemologi teknologi pendidikan. Semua bentuk teknologi adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, menigkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Teknologi itu pada hakikatnya adalah bebas nilai, namun penggunaannya akan sarat dengan aturan nilai dan estetika. Sejak tahun 1980, Daoed Joesoef[33] dalam pidato pengarahannya pada Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan di Yogyakarta menyata-kan,

"teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus-menerus karena adanya kebutuhan real yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (i) tekad mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar; (ii) keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain, penyempurnaan kurikulum, penyediaan berbagai sarana pendidikan, dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar lewat berbagai bentuk pendidikan serta latihan; (iii) penyempurnaan sistem pendidikan dengan penelitian dan pengembangan sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan pembngunan; (iv) peningkatan partisipasi masyarakat dengan pengembangan dan emanfaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan; (v) penyempurnaan pelaksanaan interaksi antara pendidikan dan pembangunan di mana manusia dijadikan pusat perhatian pendidikan."

Pernyataan kebijakan tersebut telah terwujudkan, antara lain, dalam berbagai pola pendidikan seperti sistem PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang tua, dan Guru), SLTP Terbuka, KEJAR Paket A dan B, televisi serial pertama (dan terakhir?) tentang pendidikan karakter (ACI = Aku Cinta Indonesia), penataran guru melalui siaran radio pendidikan, penggunaan berbagai strategi dan sumber belajar baik di sekolah maupun lembaga pelatihan, dan Universitas Terbuka. Keseluruhan hal inilah yang merupakan landasan pembenaran atau landasan aksiologis teknologi pendidikan sebagai suatu disiplin pengetahuan. Namun setelah adanya pembenaran secara falsafi, perlu pula dilengkapi dengan pembenaran ilmiah, yaitu yang dihasilkan oleh sejumlah kegiatan pengembangan, penelitian, dan penilaian guna menghasilkan teori, model, sistem, bukti ilmiah, program aksi, dan kebijakan.

Teknologi pendidikan berusaha memecahkan dan atau memfasilitasi pemecahan masalah belajar pada manusia sepanjang hayat, dimana saja, kapan saja, dengan cara apa saja, dan oleh siapa saja. Gambar berikut menunjukkan di mana bidang garapan teknologi pendidikan itu seharusnya berkembang.

Gambar 5.1 Objek Teknologi Pembelajaran

Masalah belajar itu dialami oleh siapa saja sepanjang hidupnya, di mana-mana: di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan di masyarakat, serta berlangsung dengan cara apa saja dan dari apa dan siapa saja. Berkembangnya teknologi pendidikan itu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Mengingat bahwa objek teknologi pendidikan adalah belajar (pada manusia) maka akhir-akhir ini istilah "teknologi pendidikan" cenderung digantikan dengan "teknologi pembelajaran". Penggantian istilah itu juga sekaligus memperluas kawasan penerapannya, yaitu tidak hanya di lembaga pendidikan formal melainkan di mana saja belajar itu diperlukan dan berlangsung, termasuk organisasi belajar.

Dalam perkembangan terkhir, teknologi pendidikan secara konseptual didefinisikan sebagai: teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian dan penelitian proses, sumber, dan sistem untuk belajar.

Definisi tersebut mengandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi pembelajaran, yaitu:

· Teori dan praktik.

· Desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian.

· Proses, sumber, dan sistem.

· Untuk belajar.

Dalam definisi tersebut dapat dilihat enam kawasan teknologi pendidikan/pembelajaran, yaitu desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelo-laan, penilaian dan penelitian proses, sumber, dan sistem belajar.

Gambar 5.2 Definisi Teknologi Pendidikan

(diadaptasi dari Seels & Richey, 1994)[34]

3. Profesi Teknologi Pendidikan

Setiap profesi paling sedikit harus memnuhi empat syarat. Pertama adalah pendi-dikan dan pelatihan yang memadai, kedua adanya komitmen terhadap tugas profesional-nya, ketiga adanya usaha untuk senantiasa mengembangkan diri sesuai dengan kondisi lingkungan dan tuntutan zaman, dan keempat adanya standar etik yang harus dipatuhi. Pendidikan dan pelatihan dalam teknologi pendidikan telah dimulai pada tahun 1972, berupa latihan untuk pengembangan bahan ajar melalui radio. Pada tahun 1974 mulai di berikan mata kuliah teknologi pendidikan di IKIP Jakarta, dan pada tahun 1976 dibuka pendidikan akademik jenjang Sarjana dalam program Teknologi Pendidikan melalui kerja sama antara Tim Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan kebuda-yaan (embrio Pustekkom) dengan IKIP Jakarta. Dua tahun kemudian pada tahun 1978 dibuka pendidikan jenjang Magister dan Doktor Teknologi Pendidikan di IKIP Jakarta. Program pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari Proyek Pengembangan Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan yang sekaligus bertujuan untuk membentuk suatu lembaga yang bertanggungjawab mengoordinasikan pengembangan teknologi pembelajaran di Indonesia. Hingga saat ini sudah delapan universitas yang membuka progam pascasarjana Teknologi Pendidikan.

Mereka yang berprofesi atau bergerak dalam bidang teknologi pendidikan atau singkatnya disebut Teknolog Pendidikan, harus mempunyai komitmen dalam melaksana-kan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses belajar bagi setiap orang, dengan dikembangkan dan digunakannya berbagai sumber belajar selaras dengan karakteristik masing-masing pembelajar (learners) serta perkembangan lingkungan. Karena lingkungan itu senantiasa berubah, maka para Teknolog Pendidikan harus senantiasa mengikuti perkembangan atau perubahan itu, dan oleh karena itu ia dituntut untuk selalu mengembangkan diri sesuai dengan kondisi lingkungan an tuntutan zaman, termasuk selalu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

Profesi ini bukan profesi yang netral dan bebas nilai. Ia merupakan profesi yang memihak kepada kepentingan pembelajar (learners) agar mereka memperoleh kesempatan untuk belajar agar potensi dirinya dapat berkembang semaksimal mungkin. Profesi ini juga tidak bebas nilai karena masih banyak pertimbangan lain seperti sosial, budaya, ekonomi, dan rekayasa yang memengaruhi, sehingga tindakannya harus selaras dengan situasi dan kondisi serta berwawasan ke masa depan. Pada tahun 1987 didirikan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) yang tempat kedudukannya pada saat ini di Universitas Negeri Jakarta. IPTPI mempunyai Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan Kode Etik. Kode Etik ini dapat dilihat pada Lampiran D buku Teknologi Pembelajaran: definisi dan kawasannya, yang merupakan terjemahan plus dari buku karangan Barbara B. Seels dan Rita C. Richey, Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Dalam kode etik tersebut dicantumkan kewenangan dan kewajiban, serta tanggung jawab kepada perorangan, masyarakat, rekan sejawat, dan organisasi.

Profesi teknologi pendidikan, sebagaimana halnya semua profesi yang baru, menghadapi tantangan yang inheren. Salah satu tantangan berat yang dihadapi adalah pengakuan atas profesi teknologi pendidikan. Hingga saat ini belum ada pengakuan pemerintah atas profesi Teknologi Pendidikan. Sejak tahun 1985 Pustekkom Diknas (sewaktu masih dikenal dengan pusat TKPK) telah mengusahakan pengakuan jabatan fungsional Teknologi Pendidikan. Upaya itu digalakkan lagi dengan lahirnya organisasi profesi pada tahun 1987, dan berikutnya dengan ditetapkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan UU tersebut ada jabatan "peneliti dan pengembang di bidang pendidikan" dan "teknisi sumber belajar". Proposal berupa Naskah Akademik dan Draft Keputusan Menpan tentang Jabatan Fungsional Teknologi Pendidikan kita ajukan lagi sesuai dengan perundangan tersebut kepada Menpan, namun sementara ini masih ditangguhkan – ditolak halus – semua usulan mengenai jabatan fungsional.

Usaha memperoleh pengakuan profesi tersebut memperoleh jalan keluar dengan di tetapkannya Undang-undang RI No. 18 Tahun 2002 tentang Sisitem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Penghetahuan dan Teknologi. Dalam Undang-undang tersebut, khususnya bagian ketiga: Sumber Daya pada Pasal 11, 12, dan 13, dicantumkan adanya "keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasi-annya" sebagai salah satu sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui Kantor Menristek pada saat ini sedang diproses Keputusan Presiden RI tentang jabatan Fungsional Perekayasa dan Teknisi Litkayasa dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang pembelajaran. Bila keputusan ini telah keluar, maka jabatan profesi Teknolog Pendidikan akan berubah menjadi Perekayasa Pembelajaran.

Dengan tersedianya tenaga pendidik dan terlatih dalam bidang Teknologi Pendi-dikan dan adanya organisasi profesi, maka secara konseptual terjaminlah usaha penerapan teknologi pendidikan dalam berbagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan belajar dan pembelajaran. Program itu boleh dikatakan tidak terhingga bentuk, jenis, dan jumlahnya. Dan karena begitu banyak variasinya bahkan banyak para pelaksana tersebut tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah menerapkan konsep teknologi pendidikan. Seorang guru yang menerapkan strategi belajar kelompok dengan menggunakan kaset rekaman suara atau gambar-gambar, pada dasarnya merupakan kegiatan pemanfaatan sumber belajar atau melaksanakan salah satu dari enam kawasan teknologi pendidikan.

4. Penerapan Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan merupakan suatu disiplin terapan, artinya ia berkembang karena adanya kebutuhan di lapangan, yaitu kebutuhan untuk belajar – belajar lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat, dan sebagainya. Untuk itu ada produk yang sengaja dibuat dan ada yang ditemukan dan dimanfaatkan. Namun perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat akhir-akhir ini dan menawarkan sejumlah kemungkinan yang semula tidak terbayangkan, telah membalik cara berpikir kita dengan"bagaimana mengambil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar".

Berkembangnya penerapan teknologi pendidikan boleh dikatakan berasal dari Amerika Serikat. Pada awal perkembangan sekitar ratusan tahun yang lalu teknologi itu dikenal sebagai cara mengajar dengan menggunakan alat peraga hasil buatan sendiri oleh guru di sekolah. Tiga puluh tahun kemudian (sekitar tahun 1930) pengguaan alat peraga itu berkembang dengan diproduksinya secara massal media belajar-pengajaran untuk digunakan di sekolah secara meluas. Sepuluh tahun kemudian, saat Amerika Serikat terlibat dalam Perang Dunia II, diperlukan banyak sekali tenaga terampil dalam mengoperasikan dan menangani peralatan perang. Untuk itu diperlukan latihan yang efektif dalam waktu yang pendek dan dapat diulang sesering mungkin. Dikembangkanlah cara pelatihan dengan menggunakan berbagai media dan simulator untuk keperluan pelatihan personel angkatan bersenjata tersebut. Mulailah dikenal istilah teknologi kinerja (performance technology).

Seusai PD II mulai dikembangkan pengalaman di kalangan angkatan bersenjata tersebut untuk keperluan pendidikan dan pelatihan. Dalam lingkungan sekolah dan per-guruan tinggi mulai dibangun suatu lembaga yang dipisahkan dari perpustakaan, dengan menyediakan dan mengembangkan media pengajaran dan diberi nama Pusat Sumber Belajar. Program studi atau keahlian dalam teknologi pendidikan mulai dibuka di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.

Namun pendidikan dalam lingkungan sekolah ini lebih berorientasi teoritis dan menganggap fungsinya adalah mempersiapkan peserta didik untuk masa depan yang siap latih. Padahal dengan semakin berkembangnya kegiatan sosial-ekonomi diperlukan tenaga yang kompeten lebih banyak dan cepat. Hal ini memicu tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan dan kursus sebagai upaya pendidikan berkelanjutan yang bersifat terapan. Lembaga-lembaga ini ada yang berdiri sendiri, namun banyak yang merupakan bagian dari organisasi bisnis, industri dan publik, serta organisasi pemerintah. Untuk mereka ini lebih tepat digunakan istilah "teknologi pembelajaran", karena mereka lebih berkepentingan dalam membelajarkan orang dalam lingkungan kerja mereka sendiri atau pembelajaran untuk penguasaan suatu kompetensi tertentu. Perkembangan ini dapat digambarkan seperti pada gambar 5.3.

Gambar 5.3 Perkembangan Penerapan Teknologi Pembelajaran

(diadaptasi dari Romiszowski, 1981)[35]

Di Indonesia sendiri penerapan teknologi pembelajaran tidak jauh berbeda dengan perkembangan seperti halnya di Amerika Serikat, hanya terpaut waktu yang cukup lama. Perkembangan itu boleh dikatakan baru dikenal sekitar awal tahun 1950, dengan didirikannya Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru (BKTPG) dan Balai Alat Peraga Pendidikan (BAPP) di Bandung. BKTPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis (P3G Tertulis) bertanggungjawab untuk menyelenggarakan penataran kualifikasi guru dengan bahan pelajaran tertulis dengan berpegangan pada konsep belajar mandiri. BAPP pada awal tahun 1970 diintegrasikan dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru bidang studi.

Kalau kita simak gambaran perkembangan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa mayoritas para tenaga kependidikan dan pembelajaran (termasuk guru, widyaiswara, bahkan manajer HRD) masih ada dalam lingkaran terkecil Peragaan Ajaran atau lingkaran berikutnya Media Pembelajaran. Mereka belum menyadari bahwa tuntutan perkemba-ngan zaman sekarang sudah pada lingkaran Teknologi Kinerja dan Teknologi Pembelaja-ran. Dapat diibaratkan bahwa bila mereka itu berkarya dalam profesi kesehatan, masih mengandalkan pada stetoskop dan tensimeter saja. Mereka belum menyadari perlunya CT scan dan berbagai proses dan sumber yang canggih.

Beberapa bentuk penerapan teknologi pembelajaran secara menyeluruh, yaitu yang meliputi semua komponen dan karena itu merupakan sistem dapat dicontohkan sebagai berikut:

Ø Proyek percontohan sistem PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang tu, dan Guru) di Kabupaten Karanganyar, Surakarta pada tahun 1974, dan disebarkan di Kabupaten Malang dan Gianyar pada tahun 1978.

Ø Pemasyarakatan P4 melalui permainan yang diujicobakan di Kabupaten Batu, Malang.

Ø Proyek Pendidikan Melalui Satelit (Rural Satellite Project) di perguruan tinggi wilayah Indonesia bagian timur(BKSPT INTIM).

Ø Program pendidikan karakter melalui serial televisi ACI (Aku Cinta Indonesia = Amir, Cici, dan Ito) = serial televisi (pendidikan) pertama (dan terakhir).

Ø Pogram KEJAR Paket A dan B.

Ø Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Ø SLTP Terbuka.

Ø Universitas Terbuka.

Ø Sistem Belajar Jarak Jauh yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan.

Ø Jaringan sistem belajar jarak jauh (Indonesian Distance Learning Network = IDLN) dan SEAMOLEC (SEAMEO Open Learning Center) yang berkedudukan di Pustekkom Diknas.

Daftar ini sama sekali tidak komprehensif, karena masih banyak bentuk penerapan lain. Beberapa kegiatan ini memang sudah terhenti karena berbagai alasan kebijakan maupun pendanaan.

5. Peranan Profesi dan Lembaga

Para profesi (praktisi dan akademisi teknologi pendidikan) pada saat ini telah menyebar ke luar lingkungan pendidikan, yaitu pada lembaga pelatihan, lembaga pemerintahan, dan lembaga masyarakat, lembaga media massa (radio, televisi, dan surat kabar), serta lembaga atau organisasi bisnis dan industri yang berniat menjadi organisasi belajar. Mereka berkarya dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan belajar dan biasanya bekerja dalam satuan regu dengan aneka tugas, seperti perancang pembelajaran, artis grafis, ahli media, ahli evaluasi, pemrogram komputer, dan lain sebagainya. Para guru pun sebagian telah menjadi praktisi teknologi pendidikan, yaitu dengan menerapkan kawasan pemanfaatan dalam konsep teknologi pendidikan.

Lembaga penyelenggara teknologi pembelajaran sekarang ini ada di mana-mana, dan telah berkembang sebagai suatu jaringan. Penyelenggaraan program akademik yang semula diprakarsai oleh embrio Pustekkom, sekarang ini telah tersebar sedikitnya di 12 perguruan tinggi negeri maupun swasta, enam di antaranya menyelenggarakan pendidikan hingga jenjang Magister, dan tiga pada jenjang Doktor.[36]

Program aplikasi teknologi pembelajaran secara nasional yang semula dikoordi-nasikan oleh Pustekkom Diknas sekarang ini telah menyebar, dan bahkan dapat dikatakan telah mulai melembaga. Hal ini terjadi karena telah banyaknya tenaga yang ter-didik dalam bidang teknologi pembelajaran (hingga bergelar Profesor) dan banyaknya kegiatan penerapan teknologi pembelajaran yang terintegrasi (imbedded) dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran. Melalui proyek-proyek TKPD (Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan Dasar), TKPLS (Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan Luar sekolah), TKPT (Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan Tinggi) misalnya telah terwujud penataran guru jarak jauh dan dengan belajar mandiri, program KEJAR Paket A dan B, SLTP Terbuka, Universitas Terbuka, program pendidikan Sarjana, Magister, dan Doktor dalam teknologi pendidikan, dan berbagai program lain baik di dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional maupun di lembaga lain baik di dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional maupun di lembaga lain di luar lingkup Depdiknas. Pogram-program tersebut mempunyai skala dan tujuan yang berbeda-beda.

Meskipun program pengembangan dan penerapan teknologi pendidikan itu mempunyai tujuan dan skala yang berbeda-beda, namun mempunyai visi umum yang sama, yaitu:[37]

Terwujudnya berbagai pola pendidikan dan pembelajaran dengan dikembangkannya dan dimanfaatkannya aneka sumber, proses, dan sistem belajar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, menuju terbentuknya masyarakat belajar dan berpengetahuan.

Untuk tercapainya visi tersebut Teknologi Pendidikan mempunyai misi:

1. Melakukan pendekatan integratif dengan semua kegiatan pembangunan di bidang pendidikan, pelatihan, dan pendidikan;

2.Menyediakan tenaga profesional yang kompeten untuk mengelola dan melaksa-nakan kegiatan teknologi pendidikan;

3.Mengusahakan adanya nilai tambah dengan digunakannya teknologi pendidikan;

4.Menghindari gejolak negatif seperti melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, antara perkotaan dan pedesaan, dan sebagainya;

5. Mengembangkan pola dan sistem pembelajaran yang memungkinkan keterlibatan jumlah sasaran maksimal, perluasan pelayanan, dan pemberdayaan warga dan organisasi belajar;

6.Menghasilkan sistem belajar dan pembelajaran yang inovatif.

Rumusan misi ini merupakan penyempurnaan dari misi yang dirumuskan pada tahun 1975, dan kemudian dikukuhkan sebagai hasil Keputusan Rapat Teras Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penjabaran visi umum tersebut di lingkungan pendidikan akademik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program keahlian Teknologi Pendidikan/Pembelajaran perlu dirumuskan dengan visi khusus dengan contoh senagai berikut: Penghasil tenaga akademik dan profesi yang memiliki wawasan dan kompetensi dalam mendesain, memproduksi, memanfaatkan, mengelola, mengevaluasi, dan meneliti proses, sumber dan sistem belajar, agar belajar dapat berlangsung efektif, efisien, dan serasi. Sedangkan misi dan tujuan khususnya perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi dan situasi lembaga yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

A.J. Romiszowski, Designing Instructional Systems, London : Kogan Page, 1981

Allan Januszewski, Educational Technology: The Development of a Concept, Englewood : CO: Libraries Unlimited Inc, 2001

Barbara B. Seels, dan Richey C. Rita, Instructional Technology: The Definition and Domain of the Field, DC : AECT, 1994

Daoed Joesoef, Pidato Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Rapat Koordinasi Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan, 1981

Depdikbud RI, Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta, 1985

Ditjen Pendidikan, Pedoman Umum tentang Media Pendidikan, Jakarta, 1979

Dr. Arief Sadiman, M.Sc, Sistem Instruksional, 1985

Dr. Arief Sadiman, M.Sc, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta : Kencana/Prenada Media, 2004

Dr. Nana Sudjana, dkk, Media Instruksional, Bandung, 1980

Dr. Nana Sudjana, Drs. Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, Bandung : CV. Sinar Baru, 1997

Jacques Ellul, The Technological Society, New York : Vintage Books, 1964

Julie Dorrel, Resource-Based Learning: Using Open and Flexible Learning Resources for Continuous Development, New York : Mc Graw-Hill Book, Co, 1993

Prof. Dr. Nasution, MA, Teknologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1994

Prof. Dr. Winarno Surahmad, Dasar & Teknik Metodologi Pendidikan, Bandung, 1984

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, dkk, Teknologi Komunikasi Pendidikan & Penerapannya di Indonesia, Jakarta : Pustekom Depdikbud, 1984

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, dkk, Defenisi Teknologi Pendidikan, Satuan Tugas Defenisi dan Terminologi AECT, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta : Kencana/Prenada Media, 2005

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Landasan Falsafah dan Teori Teknologi Pendidikan, Makalah Bahan Perkuliahan, 1987

Paulo Freire, Paedagogy of the Oppressed, New York : Herder and Herder, 1970



[1] Prof. Dr. Nasution, MA, Teknologi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 2

[2] Dr. Arief Sadiman, M.Sc, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7

[3] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, dkk, Defenisi Teknologi Pendidikan, Satuan Tugas Defenisi dan Terminologi AECT, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 1

[4] Prof. Dr. Nasution, MA, Op. Cit, h. 4

[5] DR. Nana Sudjana, Drs. Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, (Bandung : CV. Sinar Baru, 1997), h. 24

[6] Ibid, h. 25

[7] Ibid, h. 27

[8] Ibid, h. 29

[9] Ibid, h. 30

[10] Ibid, h. 32

[11] Ibid, h. 36

[12] Ibid, h. 39

[13] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, dkk, Defenisi Teknologi Pendidikan, Satuan Tugas Defenisi dan Terminologi AECT, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 4

[14] Ibid, h. 5

[15] Ibid, h. 7

[16] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, dkk, Defenisi Teknologi Pendidikan, Satuan Tugas Defenisi dan Terminologi AECT, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 32

[17] Ibid, h. 35

[18] Ibid, 37

[19] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta : Kencana/Prenada Media, 2005), h. 125

[20] Ibid, h. 126

[21] Paulo Freire, Paedagogy of the Oppressed, (New York : Herder and Herder, 1970)

[22] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Op. Cit, h. 131

[23] Jacques Ellul, The Technological Society, (New York : Vintage Books, 1964), h. xxv

[24] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Op.Cit, h. 133

[25] Allan Januszewski, Educational Technology: The Development of a Concept, (Englewood : CO: Libraries Unlimited Inc, 2001)

[26] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Op.Cit, h. 137

[27] Ibid, h. 145

[28] Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta : Kencana/Prenada Media, 2004), h. 190

[29] Julie Dorrel, Resource-Based Learning: Using Open and Flexible Learning Resources for Continuous Development, (New York : Mc Graw-Hill Book, Co, 1993)

[30] Dewi Salma Prawiradilaga, Op. Cit, h. 194

[31] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta : Kencana/Prenada Media, 2005), h. 165

[32] Yusufhadi Miarso, Landasan Falsafah dan Teori Teknologi Pendidikan, (Makalah Bahan Perkuliahan, 1987)

[33] Daoed Joesoef, Pidato Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Rapat Koordinasi Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan, 1981

[34] Barbara B. Seels, dan Richey C. Rita, Instructional Technology: The Definition and Domain of the Field, (DC : AECT, 1994)

[35] A.J. Romiszowski, Designing Instructional Systems, (London : Kogan Page, 1981)

[36] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Op. Cit. h. 175

[37] Ibid